Selasa, 12 Oktober 2010

Buat apa mencintai kalau ujung2nya menyakiti? Buat apa pacaran kalau ujung2nya ngecewain? Buat apa kasih harapan kalau ujung2nya ditinggal pergi? Cinta itu bukan hanya sekedar kata. Bukan hanya sekedar pengakuan. Bukan hanya sekedar ungkapan. Tp cinta itu adalah sebuah bukti. Sebuah tanda. Sebuah pengorbanan. Dan sebuah ketulusan. Cinta itu terima apa adanya. Cinta itu gak lihat dari fisik. Karena cinta bukan untuk kesempurnaan. Melainkan untuk saling melengkapi. Gak ada manusia yg sempurna. Gak akan ada pasangan yg sempurna. Kalau gak bisa terima apa adanya, jangan pernah bilang cinta! Kalau cinta untuk kesempurnaan, lalu bagaimana dengan orang yg penuh dengan kekurangan? Bagaimana dengan orang yg memilki keterbatasan? Apa mereka gak pantes untuk mendapat cinta dari orang yg di kasihinya? Itu sangat tidak adil! Oh yah! Atau memang cinta tidak pernah adil untuk orang yg PENUH kekurangan? Jadi, hanya orang cantik,kaya&penuh kelebihanlah yg pantas mendapat cinta? Waw! Begitu tidak adilnya semua itu! Apa serendah itu cinta? Enggak kan?! Semua orang berhak mencintai dan dicintai. Terimalah kekurangan dan kelebihan oranglain sebagaimana cinta menerima kekurangan dan kelebihan cintanya. Maka cinta akan terasa jauh lebih sempurna dari apa yg kita inginkan :)

Jumat, 03 September 2010

Oke! Mungkin ini memang gak penting. Tp jujur ini bikin gue agak gimanaaaaaa gitu.
Kesialan pertama gue: unfollowin orang dan terutama satu orang yg sangat bikin gue kepikiran. Tp ya sudahlah. Di block juga kelar.
Kesialan kedua: yg kayak gue ceritain di posting sebelumnya. Gue ribut sama orang rusuh and now......yaaaa bisa dibilang jadi perang dingin. Maybe i don't more care about this problem because, (maybe) i'm ilfil with him. So? Can i forget about my problem with him? Maybe i can :)
Kesialan yg ketiga: TWITTER GUE GAK BISA KEBUKAAAAAAAAA!!! DAMN IT! SHITTY! FUCK! Dan itu bikin separuh jiwa gue pergi (lebay) dan entah kenapa itu bikin gue gak semangat banget buat lanjut ngetweet. And i really can't forget it! Gue gak bisa berpikir seoalah it's can fine! Huaaaaa sedih banget. Nasib nasib..... :(
Dan entah akan ada kesialan lain atau hanya segitu. I hope nothing! Aminaminaminamiiiiin!! Oke sampai segitu dulu. Soalnya gue posting di hp. Makin banyak kalimat makin lemot. Soalnya laptop gue lagi rusak. Huhu kesialan yg keempat itu mungkin. Hahaha :D oke tunggu kelanjutan story of my life ye hehehe

Senin, 30 Agustus 2010

Cerita tentang someone

Oke. Mungkin ini bukanlah cerita yg menarik. Tapi sungguh! Aku ingin menulisnya. Entah karena apa. Bahkan aku sangat berharap dia membacanya. Mungkin ini sebuah lelucon tentang cinta yg dialamiku. Ini adalah lelucon yg sangat menyakitkan.


Awalnya aku bertemu dengannya ditempat les. Itu sangat kebetulan dan tak terencana. Entah ini takdir atau nasib. Mungkin saat aku mulai mengenalnya, aku merasa semua akan baik-baik saja. Tapi ternyata tidak! Oke. Mungkin akan terlihat sangat lemah. Tp aku memang tak sekuat batu. Permasalahan hidupku bukan hanya tentang dia. Monday is bad day! Itu yg ku rasakan hari ini. Tepat pada tgl 30-08-2010.
Oke mungkin aku salah. Aku sudah terlalu kasar berbicara pada temannya. Tapi jujur, aku gak suka caranya! Itu tuh norak! Kempo! Gak beradab! Gak sopan! Ngeselin! Nyebelin! Pokoknya semuanya deh! Rasanya ingin kuacak acak mukanya. Geregetan!
Tp entah kenapa, aku jadi benci pada cowok yg susah menghancurkan hariku. Tidak akan lagi ku pedulikan dia. Sunggu! Aku benci padanya! Sungguh sungguh benci! Rasanya ingin ku bentak bentak dia.

Ckckck waktu ku terbuang percuma untuk halhal yg sangat tidak penting. Shit!

Lupakan dia! Lupakan kejadian hari ini! Anggap semuanya tidak pernah terjadi. TIDAK PERNAH TERJADI!!!

Minggu, 29 Agustus 2010

New Life :)

kalau seseorang bertanya, bagimana cara melupakan orang yang di sayangi, gue hanya menjawab "Terus ingat dia sampai lo bisa merelakannya". kehilangan memang bukanlah hal yang menyenangkan. tapi ckup baik untuk membuat kita lebih mengharga apa yang kita miliki. itu yang gue dapet dari segala yang terjadi di hidup gue. berusaha tegar dan menganggap semuanya akan baikbaik saja mungkin adalah hal yang saat ini bisa gue lakukan. karna setiap pertemuan pasti ada perpisahan. tidak ada yang abadi. terkadang hidup ini memang tidak pernah adil! so? terud jalani hidup dan anggaplah semua permasalahan itu adalah pelajaran berharga untuk melakukan hal yang lebih baik lagi dan menghargai apa yang kita miliki saat ini. agar tidak ada penyesalan diakhirn nanti. karna penyesalan sungguh tidak merubah apapun~~

Minggu, 28 Maret 2010

One Love until Forever

Prolog

Hidup. Satu kata yang selama ini jadi pertanyaan orang banyak.

Apa sih hidup ini?

Apa aja yang perlu kita lakuin di hidup kita ini?

Dan apa aja yang perlu kita isi di hidup ini?

Saat ini.. banyak orang-orang bertanya tentang arti hidupnya.

So, yang harus kalian tau, kalo hidup cuma sekali. Hidup bagaikan roda yang berputar. Kadang diatas. Kadang dibawah. Dan hidup juga bagaikan kereta api. Berjalan terus tanpa bisa mengulang jalan yang telah di lewati. Mengisi hari dengan ha-hal yang indah dan pasti. Mencoba untuk melakukan sesuatu yang nggak akan di sesali di hari nanti. Karna semua jalan yang kita lalui, tidak akan mungkin bisa terulang kembali. Dan tidak akan bisa kita jalani kembali.

Kisah hidup seseorang berbeda-beda. Dan anggapan-anggapan mereka tentang hidup inipun berbeda-beda tergantung dari cara mereka mengenali hidup.

Kesedihan, kesenangan, keindahan, keraguan, kecemasan, kekecewaan akan mewarnai hidup kita. Terkadang, hal-hal yang membuat kita kesal adalah hal-hal yang sangat berarti buat kita. Ketidak sempurnaan seuatu hidup tergantung dari cara kita menanggapi dan menghadapi hidup ini.

***

Semua orang pasti menginginkan kehidupan yang baik-baik saja, sesuai dengan dengan apa yang diinginkannya, slalu bahagia, di kelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayanginya. Baik keluarga, sahabat ataupun pacar.

Tapi, seandainya kita nggak bisa dapetin semua itu rasanya pasti nggak enak. Asal kalian tau, asal kita sabar semuanya pasti akan terasa jauh lebih indah dari apa yang kita harapkan.

***

Seseorang nggak akan pernah tau apa yang akan terjadi padanya di hari esok dan seterusnya.

Dan keputusan yang kita ambil hari ini menentukan masa depan kita di hari nanti.

Bagi cewek berambut panjang, berkulit putih, berbadan langsing, bermata bulat indah, berbulumata panjang lebat dan bertubuh cukup tinggi, hidup ini bagaikan kesialan yang paling besar!!

Hidupnya tidak seperti kehidupan anak-anak remaja lainnya. Ia memiliki latar belakang broken home. Itu yang membuatnya merasa hidupnya sama sekali nggak berarti. Dan ia slalu berpikir, Tuhan nggak pernah adil!!

Mama dan Papanya telah bercerai 2 tahun yang lalu. Abangnya narkobaan dan sekarang berada di penjara. Ia sendirian!! Nggak ada tempat baginya untuk berbagi kesedihan.

Ia melampiaskan semua emosi dan kemarahannya dengan merokok, minum-minuman keras, ke diskotek, bergaul dengan orang-orang yang nggak benar dan kurang ajar pada siapapun. Karna menurutnya, nggak ada yang menghargai dia. buat apa ia menghargai orang lain?!

Siapa yang mau hancur? siapa yang mau menderita? Siapa yang mau mempunyai latar belakang broken home? Dan siapa yang mau jadi orang jahat? Nggak ada yang mau!! Ini semua karna terpaksa. Keadaanlah yang membuat cewek manis ini menjadi seperti ini.

Dan ketika semuanya benar-benar udah ninggalin kita, kita ngalamin yang namanya kehilangan. Kesedihan. Itu juga dialami cewek manis ini. kehilangan orang yang paling di sayanginya.

Sonar Adritya. Pacarnya yang udah meninggal 1 tahun yang lalu. Sheri Rathina. Sahabatnya yang udah pergi keluar negri 6 bulan yang lalu. Mama dan Papanya yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing hingga melupakannya. Dan abang yang paling ia sayang harus di penjara akibat terlibat narkoba.

Baginya, semua orang sama saja. Nggak ada yang sayang dan peduli padanya.

***

Cewek manis yang bernama Aristha Tawi Natan itu tengah terduduk berjongkok sambil menghisap sepuntung rokok di toilet perempuan di SMA Jaya 2. Tampak keluar asap di kedua lubang hidungnya dan di mulutnya saat ia berhembus. Bola matanya yang indah memandang lurus kedepan tanpa ekspresi. Di hisapnya rokok itu sekali lagi dan dihembuskannya. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

Bel berbunyi tanda istirahat telah usai tak di hiraukannya. Ia tetap menghisap rokok dengan asiknya.

Tok. Tok. Tok.

Tampak ada yang mengetok pintu toilet yang di tempatinya.

Aristha memandang kearah pintu dengan tatapan kesal karna ada yang mengganggu waktu santainya.

Iapun bangkit berdiri dan tanpa berniat untuk mematikan rokoknya atau sekedar memperbaiki pakaiannya, ia membukakan pintu. Ia melihat seorang murid memakai kaca mata besar dan tebal, rambunya di ikat dua dan wajahnya sedikit jerawatan.

“Ada apa?” tanya Aristha ketus.

“Lo di panggil Bu Triesna. Di ruang BP.” Jawab cewek itu sedikit takut.

“Sekarang?” tanya Aristha berniat membuat cewek di hadapannya kesal.

“Ya iyalah, Aristha. Masa tahun depan!” jawab cewek itu, sebal.

Arista menghisap rokok di hadapan cewek itu dan di hembuskannya tepat di muka cewek itu. spontan cewek itupun tebatuk-batuk.

“Bau tau!!” cewek itupun segera pergi meninggalkan Aristha dan berjalan keluar toilet.

***

Aristha berjalan santai menuju ruang BP tanpa membawa rokok kali ini. bukan karna nggak mau cari masalah. Tapi, karna rokoknya sudah habis.

Ia mengetuk pintu dan segera masuk. Di hadapannya tengah duduk Bu Triesna di kursi.

“Silahkan duduk, Aristha.” Ucap Bu Triesna.

“Nggak usah banyak basa-basi deh, Bu. Saya suka hal yang to the point. Ibu mau ngomong apa sama saya? Saat ini saya nggak punya banyak waktu. Ada praktek biologi yang akan saya hancurin besok.” Ucap Aristha tidak sopan.

Namun, Ibu Trisna yang sudah mengenal Aristha lebih dari 1 tahun, sudah tau ia akan di semprot dengan kurang ajar. Ia tetap bersikap santai.

“Oh. Ibu sudah yakin kamu akan melakukannya.” Ucap bu Triesna tetap santai.

“Apa ibu berniat untuk menggagalkan saya dengan cara berceramah panjang lebar?”

“Jelas tidak, Aristha. Percuma! Kamu nggak akan mengurungkan niat kamu,kan kalau ibu berceramah? Buang-buang energi saja.”

“Baguslah kalau ibu ngerti.”

Dengan langkah santai, Aristha berjalan keluar ruangan.

Di luar ruangan, ia bertemu dengan sahabatnya. Sintya.

Sintya memandang Aristha.

“Kenapa?” tanya Aristha bingung.

“Hebat lo!!” ucap Sintya membuat Aristha bingung.

***

Di kantin, Aristha dan Sintya duduk di paling pojok dekat gerombolan cowok-cowok.

Seorang cowok mendekati Sintya. Ia merangkul dan mencium pipi Sintya dengan sangat kurang ajar untuk orang yang nggak punya hubungan apa-apa.

Cowok tersebut berbisik pada Sintya, dan Sintya mengangguk. lalu cowok itu pergi ke gerombolan para kaum cowok.

“Mau ngapain dia?” tanya Aristha, penasaran.

“Hhh.. Dia cuma ngajak gue pacaran.” jawab Sintya sambil menghisap sepuntung rokok.

“Kerjaan lo itu pacaran mulu. Gonta ganti cowok mulu. nggak capek apa?”

Sintya menggeleng.

“Makanya coba sekali-kali.”

Aristha tampak jijik mendengar ucapan Sintya.

“Tha, kayanya, Radit suka deh sama lo. Udaah gebet aja.” Ucap Sintya.

“Nggak ah.”

“Kenapa?”

Aristha hanya diam.

***

Bab 1

Lampu kelap-kelip, suara yang begitu ramai dan ribut dan suara musik yang kencang menghiasi diskotik Resyo di Jakarta. Banyak orang menari-nari. Angguk-angguk. Geleng-geleng, tidak menentu. Ada pula yang hanya duduk-duduk sambil menikmati alunan musik Dj dan menikmati minuman. Dan adapula yang melakukan hal mesum.

Aristha dan Sintya duduk di salah satu meja. Menikmati suasana dan musik sambil menghisap sepuntung rokok.

Sintya memandang sekeliling dan tersenyum saat melihat orang yang di carinya.

Cowok yang tadi siang menghampiri Sintya berjalan mendekat.

“Haii..” sapa cowok itu.

“Hai..” balas Sintya.

Aristha hanya diam memerhatikan kedua orang di hadapannya.

“Sekarang?” tanya Sintya.

Cowok tersebut mengangguk dan menarik tangan Sintya kemudian merangkulnya.

“Bentar ya, Tha. Ada urusan penting.” Ucap Sintya kemudian pergi bersama cowok itu.

Aristha memandang kepergian Sintya dan cowok itu dalam diam.

Ia terus menikmati rokok dan musik yang tengah mengisi keramaian diskotik ini.

***

Aristha memutuskan untuk pulang lebih dulu dengan berjalan sampai jalan raya besar.

Ia memandang lurus kedepan dan menikmati kesunyian malam yang jauh berbeda dari dikotek yang sangat ramai dan berisik.

Di tengah perjalanan ia berniat untuk menyebrang. Tapi, ia tidak memerhatikan jalan. Dari arah berlawanan, seseorang mengendarai motor dengan kecepatan tidak terlalu cepat. saat itu Aristha terserempet motor. Ia terjatuh.

Seseorang tersebut turun dari motor dan segera menolong Aristha.

So.. sorry. Lo duluan sih yang nyebrang nggak liat-liat. Tapi, guekan yang ngendarain motor dan lo ketabrak. Gue minta maaf ya..” ucap cowok pengendar motor tersebut.

Aristha menatap benci cowok itu. iapun bangkit berdiri tanpa memerdulikan uluran tangan cowok itu.

“Bego lo!” bentak Aristha galak.

Cowok itu tampak kaget.

“Gue minta maaf. Tapi kan, jelas-jelas lo yang salah. Kenapa nyebrang nggak liat kanan-kiri dulu?” tanya cowok itu tak berniat menyalahkan Aristha.

“Lo tu yang salah!! Bego!” Aristha membersihkan bajunya yang terkena kotoran.

“Yaudah. Iya. Gue ngalah. Gue yang salah. Gue minta maaf ya..” sesal cowok itu.

“Bego!” bentak Aristha dan pergi dari situ.

Cowok itu tampak heran dan bingung melihat Aristha.

Iapun menaiki motornya kembali dan pergi juga dari situ.

***

Pagi hari si sekolah Aristha, sudah heboh di kelasnya. Ia bingung, apa yang terjadi? Dengan langkah cuek, ia menghampiri mejanya dan duduk di situ.

“Aristhaaa..” teriak seorang cewek dari arah pintu kelas.

Cewek itu berlari kecil menghampiri Aristha yang tengah duduk santai tanpa rokoknya.

“Apaan sih? Berisik lo!” omel Aristha.

“Weits, sorry. Gue ada berita heboh banget!”

“Apaan?”

“Sekolah kita, hari ini, kedatangan band terkenal itu lhoo. Makanya, murid-murid, khususnya yang cewek-cewek, pada heboh dan dateng lebih awal. Hari ini free! Nggak ada pelajaran. Asik kan?”

“Biasa aja tuh! Apa hebatnya coba band nggak jelas itu? cewek-cewek sini aja yang matanya pada katarak!”

“Aduh, Aristha. Kayaknya lo itu harus cuci mata dulu deh! Yang katarak itu lo kali. Personilnya tuh ganteng-ganteng. Masih muda! Keren abis, bo! Apalagi vokalisnya.”

“Lebe lo, Sintya!”

Sintya terdiam. Bingung melihat sahabatnya yang sama sekali tidak tertarik dengan band yang menurutnya keren abisss.

Aristha melangkah keluar kelas, tanpa memperdulikan sahabatnya, Sintya yang masih kebingungan.

Saat ia melangkah ke lapangan sekolah, yang merupakan tempat terluas dan teramai, seketika penghuni SMA Jaya 2-khususnya cewek-cewek- berlarian kelapangan ketika beberapa cowok muda dan tampan melangkahkan kaki mereka kelapangan sekolah.

Penampilan cowok-cowok itu sangat biasa. Kenapa cewek-cewek sekolah ini bisa tergila-gila dengan mereka! Pikir Aristha.

Tanpa berniat untuk ikut-ikutan tergila-gila dengan band yang baru saja datang dan menjadi pusat gossip itu, Aristha melangkah mendekati personil band yang berpakaian rata-rata, kaos oblong bergambar di balut oleh jaket, celana jins yang agak terlalu ngepres dan sepatu kets biasa serta di tambah oleh beberapa aksessories seperti jam tangan, gelang, kaca mata. Sangat biasa menurut Aristha.

Tanpa pikir panjang, Aristha menghampiri beberapa cowok dalam suatu tenda cukup besar, tapi ia hanya di luar karena personil band yang menggemparkan seisi sekolahnya itu sedang duduk-ada sebagian yang berdiri-di luar.

Sang vokalis-yang paling menjadi idola cewek-cewek-tampak memperhatikan Aristha yang berpura-pura berdiri di hadapan mereka dan memandang lurus kedepan. Aristha memang cewek yang menarik. Tidak sedikit cowok yang suka padanya. Tapi, ia tidak memperdulikan siapa-siapa saja yang suka padanya.

“Heii..” sapa sang vokalis yang terkenal agak sedikit cuek sama cewek, entah kenapa bisa menjadi orang yang berbeda pada Aristha.

Aristha terdiam dan menatap cowok di hadapannya dengan tampang cuek khasnya.

“Lo manggil gue?” tanya Aristha pura-pura tidak tau.

“Iya. Ada apa ya lo ke sini?”

“Hellow, ini tempat umum. Lagipula ini sekolah gue. Suka-suka guelah mau diri dimana aja. Kenapa? Lo keberatan?”

“Enggak kok.”

Aristha berniat untuk meninggalkan tempat itu, namun sang vokalis menahan langkahnya dengan bertanya.

“Nama lo siapa?”

“ Aristha Tawi Natan. Biasa di panggil Aristha. Kenapa? Lo suka sama gue? Udah biasa.” Jawab Aristha blak-blakkan.

“Waw. Blak-blakkan juga ya lo. Tapi nggak apa-apa, gue suka kok cewek yang blak-blakkan kalau ngomong. Oh ya, nama gue Rizky Putra Zevreno. Panggil aja Rizky.”

“Gue nggak nanya siapa nama lo! Nggak penting, juga.”

Aristha melangkah pergi dari situ.

“Waw. Pertama kalinya gue di giniin sama cewek. Liat aja, gue akan naklukin lo, Aristha.” Ucap Rizky pelan.

Cowok itu tertarik pada sikap Aristha , yang menurutnya sangat blak-blakkan, cuek, jutek dan membuatnya gemas.

***

“Aristhaa.. lo dari mana aja sih? Gue cariin dari tadi!” tanya Sintya saat Aristha duduk di sebelahnya di kantin.

“Dari ketemu vokalisnya band yang lo gila-gilain.” Jawab Aristha enteng sambil menyulupkan sepuntung rokok ke selah-selah bibirnya yang-kata orang-orang-seksi.

“Wets, tadi lo bilang kalau lo nggak tertarik sama sekali dengan band itu, tapi kenapa lo mau ketemu mereka?”

“Tadi gue cuma penasaran. Gue liat mukanya dari deket. Biasa aja tuh. Malah vokalisnya yang lo bilang cakep dan agak cuek sama cewek itu, bawel banget! Nanya-nanya nama gue, terus gue nggak nanya nama dia, dia malah kasih tau nama lengkapnya. Rese!”

What? Lo di kasih tau nama lengkapnya Rizky? Oh my god! Aristha, asal lo tau, nggak ada satupun yang tau nama lengkapnya selain ortu dan temen-temen personilnya plus menegernya. Fans-fansnya atau public aja nggak ada yang tau nama lengkapnya. Tapi, elo? Nggak bisa di percaya! Sumpah! Parah banget! Jangan-jangan dia suka sama lo, Tha!”

“Apaan sih lo! Biasa aja kali. Nggak usah terlalu di lebih-lebihkan! Cuma nama aja kan?! Ih. Lebe banget sih tu orang. Nama lengkapnya aja nggak boleh ada yang tau.”

Sintya geleng-geleng kepala.

Aristha terdiam dan asik menghisap rokoknya. Ia memikirkan sesuatu yang sangat sulit di percayainya. Rizky Putra Zevreno, yang terkenal cuek kenapa bisa begitu bawel padanya? Jujur, Aristha sedikit menyukai Rizky. Tapi ia masih belum bisa membuka hatinya terlalu banyak untuk cowok lain selain Sonar, pacarnya yang sudah meninggal 1 tahun yang lalu. Ia sangat mencintai Sonar, bahkan di sisa waktu Sonar, Aristha hanya meluangkan waktunya pada Sonar.tapi apa boleh buat, umur Sonar hanya sampai di situ saja. Padahal dulu, Sonar pernah berjanji pada Aristha di suatu siang sepulang sekolah.

“Tha, kamu percaya sama aku?” tanya Sonar, lembut dan menatap Aristha yang masih baik dan belum menjadi anak seperti sekarang ini.

“Tentu. Aku percaya sama kamu, selalu dan selamanya.”

“Aku sayang kamu. Aku akan setia. Aku akan jaga kamu sampai kita tua nanti. Kamu percaya itu?” tanya Sonar, lagi.

“Tentu. Apapun yang kamu katakan, aku percaya. Kamu akan selamanya bersamaku, bukan?”

“Ya. Aku akan selamanya bersama kamu. Aku janji.”

Aristha tersenyum.

Tapi sekarang, Sonar telah tiada. Ia meninggalkan Aristha untuk selama-lamanya. Dan pada detik-detik terakhir, Sonar berkata pada Arista.

“Tha, maafin aku karena aku nggak bisa nepatin janji aku. Maafin aku karena aku harus ninggalin kamu untuk selamanya. Maafin aku ya. Kamu jangan sedih. Kamu harus tetap melanjutkan hidup kamu tanpa aku. Aku akan selalu ada di hati kamu. Kamu cari pengganti aku yang benar-benar terbaik ya, Tha. Aku sayang kamu. Jangan lupain aku. Jangan pernah berubah. Aku mau kamu tetap menjadi Aristha yang aku kenal. I am realy love you.”

“Iya. I love you too. Just you in my heart. Meskipun kamu udah nggak ada, kamu akan selalu ada tempat di hatiku.”

Itu adalah kalimat terakhir yang di ucapkan Sonar sebelum ia benar-benar pergi. Perih sekali hati Aristha saat itu. Hari-hari Aristha mulai sepi. Tak kuat rasanya bila ia harus menghadapi semuanya. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk pindah sekolah di Jakarta dan ia berubah total saat awal kelas 1 SMA. Pergaulannya dan sikapnya sangat berbeda dari Aristha dulu yang baik, ramah, asik, punya banyak teman dan penyabar.

“Aristha. Woy!” tegur Sintya yang bingung melihat Aristha terdiam dan matanya berkaca-kaca. “Tha, lo nangis?” tanya Sintya sedikit prihatin.

Sejujurnya, Sintya tau benar siapa dan bagaiman Aristha dulu. Tapi, ia juga tidak bisa berbuat banyak, karena itu kehendak sahabatnya yang tetap keukeh menjadi anak bandel.

Aristha tersadar, ia memejamkan matanya. Seketika air matanya menetes membasahi pipinya. Ia bergegas menghapus tetes air matanya.

“Lo lagi inget Sonar ya?” tanya Sintya lagi.

“Enggak kok. Sok tau lo!” jawab Arista tersenyum kaku.

“Kenapa sih, lo nggak pernah mau jujur? Kenapa lo nggak pernah mau berdamai dengan diri lo sendiri? Gue yakin kok, lo pasti pingin balik kayak dulu lagi, kan? Lo pengen jadi Aristha yang baik, nyenengin dan ramah lagi, kan? Lo nggak kasian apa sama nyokap lo?”

“Jangan bawa-bawa nyokap gue! Buat apa gue harus jadi seperti apa yang dia pengen sedangkan dia sendiri nggak pernah mau tau apa yang gue mau?!”Aristha mulia emosi.

“Oke. Minimal demi Sonar. Lo ingetkan permintaan terakhir dia? dia pengen lo tetep jadi Arista yang dia kenal dulu.”

“Gue nggak peduli! Dia udah mati! Dia udah ngelanggar janji dia! buat apa gue harus nepatin janji gue? Lo nggak usah ngurusin urusan gue! Urus aja diri lo sendiri yang masih belom bener!”

Aristha pergi sambil menahan tangis. Begitupun Sintya. Ia sangat menyayangi sahabatnya itu. tapi, apapun yang di omongin Sintya nggak pernah di dengar Aristha, karena Sintya merasa dirinyapun belum benar.

“Maaf, Tha!” ucap Sintya pelan sambil menangis kecil.

***

Saat cinta sudah pergi, tak kuasa hati menahan kepedihan dan kesedihan yang begitu dalam. Raganya mungkin sudah tiada. Tapi kenangan tentangnya masih teringat jelas. Tapi, Aristha sadar, kalau setiap makhluk yang hidup, suatu saat nanti pasti akan mati. Tak ada yang abadi di dunia ini. Aristha tidak bisa menyalahkan siapapun atas apa yang terjadi di hidupnya. Baik soal Mama dan Papanya, soal abangnya, soal Sheri maupun soal Sonar. Ini kehendak Tuhan.

“Kenapa kamu harus ninggalin aku secepat ini, Sonar? Aku sayang banget sama kamu. Aku belum bisa buka hati aku untuk orang lain selain kamu. Dulu kamu pernah janji kalau kamu akan terus bersamaku. Tapi sekarang? Kamu udah pergi ninggalin aku! Oke! Aku tau, kamu udah minta maaf sebelum kamu pergi. Tapi maafpun belum bisa ngobatin sakitnya hati aku. Aku mau kamu ada di sini. Aku mau kamu tetap bersamaku. Aku nggak mau kehilangan kamu. Hanya kamu yang aku miliki saat ini. dan sekarang kamu udah pergi. Aku sendirian! Aku harus ngapain sekarang?! Aku mau hidup dimana kamu hidup, Sonar! Aku mau pergi kemanapun kamu pergi. Aku mau tetap bersama kamu. Mama aku, yang katanya akan jagain aku setelah bercerai dengan Papa, mana? Dia nggak buktiin itu ke aku. Dia malah sibuk dengan urusan butiknya. Papa aku, aku udah nggak tau lagi dia dimana. Dan abang aku, sekarang dia di penjara! Keluarga aku hancur dan berantakan. Itu yang kamu bilang aku masih beruntung karena masih memiliki keluarga? Buat apa punya keluarga kalau mereka sama sekali nggak nganggep aku ada? Aku kayak hidup sendiri! Mereka semua seperti tidak menganggap aku ada! Aku benci hidupku! Sonaaar, aku mohon kamu kembali. Sebentaaar saja. Agar aku bisa percaya kalau kamu memang slalu bersamaku. Kalau kamu memang tetap menjagaku. Dan kalau kamu memang tetap mencintaiku. Pleaseee.. Tuhaaan… kasih aku kesempatan untuk bersama dengan Sonar walau hanya sebentaaar. Beri aku kepastian, Tuhan… Aku binguuung!” ucap Aristha pada dirinya sendiri di sebuah koridor sepi lantai 3. Ia terduduk di pojokan dekat tangga. Ia tertunduk dan menangis. Ini pertama kalinya Aristha ngangis setelah 1 tahun kepergian Sonar. Entah apa yang membuat cewek ini begitu sedih hari ini.

“Gue nggak nyangka. Ternyata lo bisa ngangis juga ya? Gue kira, waktu pertama kali gue ketemu lo, lo bukan tipe cewek yang cengeng.” Ucap seorang cowok bertubuh kurus, tinggi, putih dan mancung.

Aristha terkejut. Ia memandang ke arah sumber suara dan menemukan sesosok cowok yang tengah berdiri santai sambil bersender ke tembok.

“Elo?! Lo yang kemaren malam nabrak gue kan? Ngapain lo di sini? Stupid!” tanya Aristha, kaget.

“Gue anak baru di sini. Abisnya, cewek-cewek di sini pada ngumpul di lapangan. Jadi nggak ada yang tau deh kalau ada anak baru.” Jawab cowok itu santai. “Oh iya, nama lo Aristha Tawi Natan, kan? Namanya lucu. Sayang orangnya nyebelin!”

“Songong lo! Emang nama lo siapa sih?”

“Rilzie Qerlian Wert. Pindahan dari Amerika. Pas gue nabrak lo kemaren malam, itu gue baru dateng ke Indonesia, eeh, udah kena sial karena ketemu lo. He he he.. bercandaa..”

“Apa sih lo! Sok asik banget! Sok humoris!”

“Tapi seenggaknya gue nggak sok tegar tapi kenyataannya cengeng!”

“Lo ngatain gue?”

Rilzie hanya tersenyum manis dan duduk di samping Aristha.

“Ngapain lagi sih lo?” tanya Aristha ketus.

Rilzie terdiam, tidak menghiraukan pertanyaan Aristha. Tiba-tiba Rilzie menatap Aristha begitu dalam, hingga membuat Arista salting dan gugup.

Kenapa gue jadi deg-deg’an ya? Tanya Aristha dalam hati.

Rilzie mengelus kedua pipi Arista yang mulus, lalu pelan-pelan mulai mendekati wajah Aristha. Aristha bingung dengan dirinya sendiri yang sama sekali tidak berniat untuk mendorong tubuh cowok di hadapannya ataupun menghindar.

“Lo… mau ngapain?” tanya Aristha gugup.

Rilzie tidak menghiraukan. Ia tetap memajukan wajahnya dan sekarang bibir mereka berdua tinggal berjarak setengah mili untuk bersentuhan. Rilzie mentap mata Aristha yang terpejam takut. Saat Rilzie hendak memajukan wajahnya lagi, ada seseorang yang datang.

“Menurut gue sih cakepan Rizky. Itu lho yang jadi vokalisnya. Sumpah keren abiss.” Ucap seorang cewek dari belokan koridor.

“Iya sih. Tapi gitarisnya juga cakep kok. Ah, personilnya cakep semua. Jadi berharap bisa pacaran sama salah satu dari mereka nih. Yang jadi drummernya juga nggak apa-apa deeh. Hi hi hi” ucap salah satu cewek lain.

Seketika Rilzie menghentikan niatnya dan segera menjauhkan wajahnya kembali ke posisi semula. Namun Aristha tetap diam. Kaku. Dia tidak percaya, dirinya dengan bodoh mau saja di perlakukan seperti tadi dan tidak menghindar?!

Kedua cewek pengganggu itu tiba-tiba tidak terdengar lagi langkah kakinya.

“Eh, balik lagi yuk. Gue lupa, gue mau minta tanda tangan Rizky sama foto bareng dia. Aduuuh, kok gue bisa lupa ya?” ucap salah satu cewek.

“Yaudah yuk. Gue juga mau. Hi hi hi”

Langkah kaki mereka tampak menjauh dan tidak terdengar lagi.

Sial! Batin Rilzie.

“Aristhaaa.. heii.” Panggil Rilzie yang heran melihat Arista terdiam mematung di sampingnya.

“Bego! Bego! Bego! Nyebelin! Nyebelin! Nyebelin! Kurang ajaaaar!!” maki Aristha sambil memukuli tubuh Rilzie.

Rilzie menangkap tangan Aristha dan memeganginya.

“Ngapain lo tadi? Lo mau nyium gue, kan?! Kurang ajar banget sih lo!” omel Aristha dan menangis.

Sorry. Gue tadi… tadi… tapi kan nggak jadi. Gara-gara ada cewek rese yang ternyata nggak jadi lewat.”

“Bagus itu! untung ada cewek tadi. Kalo nggak lo pasti mau nyium gue kan? Stupiiiid!!

***

Aristha terduduk di ranjangnya. Kejadian tadi masih tergiang jelas di kepalanya. Ia masih bingung atas perasaannya yang tidak menentu. Deg-deg’an waktu Rilzie menatapnya. Diam saja saat ingin di cium. Tidak bisa menampar saat ia marah pada Rilzie. Benar-benar perasaan yang aneh yang tidak pernah di rasakannya selain dengan Sonar. Sonar? Apa Aristha menyukai Rilzie?

“Cowok sialan! Awas aja dia.” maki Aristha.

“Aristhaaa…” panggil seorang wanita berumur sekitar 30 tahunan dan mengetuk pintu kamarnya.

Dengan malas, Aristha membukakan pintu untuk mamanya.

“Apa?” tanya Aristha ketus.

“Mama bawa makanan kesukaan kamu, Nak. Kita makan sama-sama yuk.” Ajak Mamanya.

“Nggak laper!”

“Tapi.. kamu pasti belum makan, kan? Bibi tadi nggak masak, katanya.”

“Nggak usah sok tau deh! Tau apa sih mama tentang aku?”

“Aristha…”

“Udah cukup. Udah malem. Aku ngantuk!”

Tanpa pikir panjang, Aristha langsung menutup pintu kamarnya.

***

Berhari-hari sudah Aristha terus di hantui kehadiran Rilzie yang sudah membuat hidupnya semakin runyem.

Dengan seenaknya Rilzie mengambil rokok Aristha yang baru saja dihisapnya, dengan alasan “Cewek nggak boleh ngerokok. Nggak bagus!”

Rilzie, dengan seenaknya memaksa Aristha untuk segera memasuki kelas saat bel masuk istirahat berbunyi.

Rilzie, dengan seenaknya menguasai Aristha dengan melarangnya melakukan kebiasaan buruk yang biasa di lakukan Aristha di sekolah.

Dan satu hal yang paling membuat Aristha kesal, Rilzie dengan seenaknya pula menariknya dan menyuruhnya keluar dari diskotek seperti anak kecil yang bandel tidak mau di kasih tau. Itu sangat menjengkelkan karena semua mata tertuju padanya dan Rilzie saat itu.

Adalagi yang membuat Aristha kesal, Rilzie mengantar dan menjemput Aristha kemanapun ia pergi. Baik kesekolah maupun jalan-jalan. Dan setiap weekend, Rilzie mendatangi rumah Aristha. Bahkan berniat untuk menginap, pula. Aristha semakin kesal dan berusaha memaki Rilzie dengan kalimat hinaan yang paling hina. Tapi tetap saja, Rilzie tidak menghiraukan. Ia tetap keukeh merubah Aristha menjadi cewek yang lebih baik.

“Oke! Stop! Berhenti ngurusin urusan gue! Berhenti ngikutin gue! Dan berhenti ngatur-ngatur gue!” omel Aristha dalam mobil Rilzie sewaktu mereka ingin pulang.

“Tapi lo bisa janji kalau lo nggak akan ngerokok lagi, nggak akan cabut pelajaran lagi, nggak akan buat ulah lagi, nggak akan bandel lagi, nggak akan gaul dengan sembarang orang lagi dan nggak akan ke diskotek lagi? Mau janji?” tanya Rilzie, kalem.

Aristha terdiam. Bingung mau jawab apa. Karena diapun belum bisa janji seperti itu.

“Tuh kan nggak bisa jawab. Yaudah, gue akan tetep ngurusin urusan lo dan ngikiutin lo plus ngatur lo sampai lo bisa janji dan bisa di percaya.” Ucap Rilzie.

Rilzie sayang Aristha, dan dia sudah menunjukkan sikap sayangnya. Tinggal tunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan itu pada Arista.

Drrrrttt… drrrrttt… drrrrttt… drrrrttt… drrrrttt…

Bunyi ponsel yang di silent.

Aristha segera meronggoh kantong sakunya dan mengambil ponselnya. Ia manatap layar ponselnya. Ada nomor yang tidak dikenal menghubunginya.

Siapa ya? Tanya Aristha dalam hati.

Ia langsung mengangkat telepon dari nomor yang tidak di kenalnya itu.

“Hallo..” sapa Aristha agak jutek.

“Hai Aristhaa. Inget gue nggak? Gue Rizky.” Ucap Rizky di seberang sana.

“Ah? Ngapain lo nelpon gue? Daan.. . lo tau nomor gue dari siapa? Pasti dari Sintya ya? Emang ember tu anak.” Omel Aristha.

“Sabar dulu. Gue yang maksa Sintya buat ngasih nomor lo. Kenapa? Lo keberatan?”

“Ya iyalah.”

“Aristhaaa.. banyak lho yang mati-matian minta nomor gue. Tapi elo, malah gue yang mati-matian minta nomor lo. Beruntung dong.”

“Apanya yang beruntung?! Lo mau ngapain nelepon gue?”

“Nggak apa-apa. Cuma mau nanya, lo lagi ngapain?”

“Lagi di sandera!”

Aristha langsung memutuskan hubungan.

Tut… tut … tut…

Rilzie tampak cekikikan.

“Yaampun sayang, nggak segitunya kali. Gue nggak nyadera lo kali. Ha ha ha” ucap Rilzie di sertai tawanya.

“Gue bukan sayang lo! Emang kok! Gue ngerasanya lo nyadera gue!”

Rilzie terus cekikikan.

***

Sabtu pagi…

Kesialan Aristha akan di mulain di pagi ini karena Rilzie tidak lama lagi akan mendatangi rumahnya.

Tok. Tok. Tok.

Seseorang membukakan pintu untuk cowok yang tak lain lagi adalah Rilzie.

“Hai, bi. Ketemu lagi kita! Aristhanya ada, kan?” tanya Rilzie yang sudah cukup akrab dengan pembantu Aristha.

“Oh tentu dong, mas. Non Aristhanya ada di ruang tv. Lagi nonton.”

“Oke deh. Saya ke dalem dulu ya, bi.”

Rilzie langsung menghampiri Aristha yang sedang asik nonton sambil ngemil.

“Hai sayang.” Sapa Rilzie dan mencium pipi kiri Aristha dengan seenaknya, lalu mengambil snack dari tangan Aristha dengan mudahnya.

“Rilziee… hhhff.. rese lo!” omel Aristha.

Rilzie sudah banyak membuat Aristha berubah. Aristha sudah tidak merokok lagi, tidak cabut pelajaran lagi, tidak membuat banyak ulah lagi dan tidak ke diskotek lagi. Tutur bicara Aristhapun tidak sekurang ajar dulu. Rilzie, yang bersikap apa adanya, humoris, santai, lucu dan mampu membuat Aristha nyaman bersamanya. Walaupun Rilzie suka mencium pipi Aristha seenaknya, Itu karena ia menyayangi Aristha. Masih wajar, kan?

“Lo bete nggak di rumah mulu? Kalau bete, kita jalan yuk. Gue traktir deeeh.” Ajak Rilzie.

“Hhm… gimana ya… gue males sih.”

“Gue gendong deh. Ya. Ya. Ya. Mau yaaa…”

“Nggak ah! Enak aja. Emang gue anak kecil di gendong. Ha ha ha… iya deh. Tapi kemana?”

“Hhm… kita ke DUFAN aja yuk. Asik tuh!”

“Oke. Gue ganti baju dulu ya.”

“Udah mandi belom? He he he”

“Udah dong. Weeek.”

Rilzie cekikikan melihat tingkah Aristha yang melet-melet seperti anak kecil.

Sekarang, menurut Aristha, berada bersama dengan Rilzie bukan kesialan lagi, melainkan keindahan dan suatu keburuntungan baginya.

Rilzie sudah banyak merubah Aristha menjadi anak yang lebih baik lagi. Dan Rilzie telah membuat Aristha berpikir kalau dirinyapun berhak mendapat kebahagiaan walaupun ada banyak masalah yang akan menghampiri. Hidup ini memang penuh masalah. Jadi, kita harus menghadapi masalah itu dengan sikap optimis dan penuh harapan. Yeah!

Beberapa menit kemudian, Aristha keluar dengan memakai kaos oblong bergambar, jaket, jelana pendek selutut dan aksessories seperti jam tangan, gelang dan kalung. Kalung yang di kenakan Aristha adalah kalung pemberian Sonar sewaktu ulang tahun Arista yang ke 14. Dan itu adalah ulang tahun terakhir yang bisa di rasakan Aristha bersama Sonar setelah 2 tahun mereka pacaran.

Kalung bergambar bintang yang di belakangnya terukir inisial S-A dan terdapat gambar love diantara inisial nama mereka. Sangat indah.

“Jadi jalan kan?” tanya Rilzie, menghamburkan lamunan Aristha.

“Iya.” Jawab Aristha dan tersenyum.

***

Suasana yang sangat indah dan sudah lama tidak dirasakan Aristha semenjak kepergian Sonar. Memang aneh. Seorang Rilzie memasuki kehidupan Aristha dan merubah hidupnya dengan sangat mudah!

Aristha juga bingung dengan perasaannya sendiri. Ia tidak pernah membuka kesempatan pada cowok manapun untuk dekat dengannya. Tapi kenapa dengan Rilzie berbeda? Ia baru saja mengenal Rilzie, tapi sikapnya dengan Rilzie seakan mereka sudah lama saling mengenal. Rilzie memang anak yang baik, asik humoris dan lucu plus ganteng, tidak sedikit cewek-cewek di kelasnya yang menyukainya. Mungkin sikap Rilzie yang terbuka dan asik itulah yang membuat Aristha betah berada di samping cowok ini.

“Aristha, duduk dulu yuk. Capek nih!” ajak Rilzie.

“Oke. Kita duduk di situ aja ya.” Ucap Aristha sambil menunjuk salah satu bangku di bawah pohon.

Mereka berjalan menghampiri bangku tersebut dan duduk di situ.

“Lo kenapa sih? Capek ya? Ck ck ck. Kasiaaan.. ha ha ha” ledek Aristha.

“Sialan lo! Iya nih. Sumpah! Tornadonya serem banget. Lumayan takut sih gue. Ha ha ha”

Rilzie dan Aristha tertawa bersama sambil menikmati sore yang indah.

“Dasar lo! Cowok kok takut. Gue aja yang cewek biasa aja tuh.” Ucap Aristha, bangga.

“Biasa aja, gimana? Jelas-jelas muka lo pucet selese naik Tornado lo, bilang biasa aja? Masa siiih?” ejek Rilzie.

“Apaan sih!”

Mereka berdua kembali tertawa.

Yeah. Memang aneh bisa melihat Aristha bisa tertawa selepas ini. bisa di bilang Aristha sudah jarang bahkan hampir tidak pernah semenjak hidupnya berantakan dan orang-orang di sekelilingnya satu persatu meninggalkan dia sendiri.

“Ril, boleh gue tanya satu hal sama lo?” tanya Aristha mulai serius.

Rilzie menatap Aristha dan tersenyum.

“Boleh lah. Apa?”

Aristha terdiam. Menarik napas yang panjang.

“Ril, kalo boleh tau, kenapa sih lo tiba-tiba bisa hadir di hidup gue dan merubah semua hidup gue yang hancur ini menjadi seperti punya harapan yang baru? Lo hadir dan membuat hidup gue lebih berwarna dan pernuh tawa keceriaan. Nggak kayak dulu. Apa sih sebenernya tujuan lo masuk kedalam kehidupan gue? Apa yang lo mau dari gue?”

Rilzie terdiam. Ia menatap Aristha lalu beralih menatap lurus kedepan. Menikmati angin yang sepoi-sepoi, lalu dengan lembut ia menjawab.

“Tha, gue tau kok, selama ini lo penasaran apa maksud dan tujuan gue memasuki kehidupan lo dan merubah hidup lo. asal lo tau, Tha. Hidup gue dulu juga kayak lo. Gue merasa semua orang yang gue sayang pergi ninggalin gue sendirian. Dan saat gue mengenal lo dan tau kehidupan lo, gue pengen rubah hidup lo. Gue mau buat lo sadar akan indahnya hidup ini. Tha, gue yakin kok, di dalam lubuk hati lo yang paling dalam, lo juga pengen, kan hidup lo kembali normal dan seperti anak remaja lainnya? Gue tau perasaan lo, Tha. Gue cuma pengen lo sadar kalo lo tuh nggak sendirian. Masih banyak orang yang sayang, peduli dan mau berteman dengan lo, Tha. Tapi elo yang nggak pernah mau ngebuka hati lo untuk orang lain. Lo yang slalu pengen hidup sendiri. Lo yang nggak pernah ngijinin orang lain kenal sama lo. Hidup ini pilihan, Tha. Dan pilihan itu ada di tangan lo. Sekarang tinggal lo sendiri mau pilih yang mana. Lo mau pilih tetap merasa kehilangan, atau merasa di sayangi dan merasa memiliki banyak orang? Tha, gue tau apa yang lo alami saat ini sangat berat. Coba untuk memahami dan menerima kenyataan. Lo nggak harus melupakan Sonar, tapi lo harus menerima kenyataan dan Sonar akan slalu ada di hati lo. Gue pengen ngeliat lo bahagia, Tha.”

Jawaban Rilzie adalah jawaban yang paling indah bagi Aristha. Ia tidak pernah tau bahwa masih ada yang peduli padanya. Masih ada yang menyayanginya. dan masih ada yang ingin berteman dengannya.

Rilzie memang sudah benar-benar membuat Aristha sadar akan indahnya hidup ini.

Aristha terdiam. Tak kuasa ia menahan air mata. Ia tau apa yang di lakukannya selama ini memang salah.

“Makasih banyak ya, Ril. Gue nggak tau apa jadinya hidup gue tanpa lo. Gue pikir, nggak ada yang ngerti perasaan gue. Tapi gue salah. Maafin gue yang udah sering nyakitin perasaan lo. Bodoh ya gue?!”

Rilzie memeluk Aristha.

“Nggak apa-apa kok. Tha, gue mohon, jangan pernah ngerasa kalo lo itu sendirian. Masih ada Sintya, gue, dan nyokap lo yang akan selalu nemenin lo.”

Aristha mengangguk dan menangis.

***

Bab 2

Nggak ada kata terlambat bagi orang yang ingin berubah. Dan nggak ada kata nggak bisa bagi orang yang mau berusaha.

Semua orang berhak menentukan jalan hidupnya masing-masing. Begitupun Aristha. Kini ia menyadari bahwa ia tidak sendirian sekarang. Mungkin Sonar sudah tiada, tapi ia akan selalu ada di hati Aristha. Selamanya…

Bukan cuma itu, kini Aristha belajar untuk memaafkan. Termasuk memaafkan kesalahan kedua orang tuanya. Berat memang, tapi akan terasa legah bila kita mau memaafkan kesalahan orang lain.

“Ma… maafin Aristha ya… selama ini Aristha udah buat banyak salah sama mama. Aristha slalu menyalahkan mama. Aristha minta maaf.” Mohon Arista pada suatu pagi setelah sebulan kejadian di DUFAN yang telah menyadarkan Aristha.

“Iya, sayang. Mama juga minta maaf ya… mama janji, mama akan lebih memperhatikan kamu. Mama sayang Aristha…”

Mamanya memeluk Aristha.

“Aristha juga sayang mama.”

Bukan cuma itu, Aristhapun merubah kehidupan Sintya. Sahabatnya. Sintyapun dengan senang hati menerima bantuan Aristha untuk bersama-sama merubah hidup mereka masing-masing menjadi lebih baik lagi.

Guru-guru merekapun ikut bangga dan bahagia melihat anak muridnya bisa menjadi anak yang lebih baik lagi. Kini semua orang mengenal lagi Aristha yang dulu. Aristha yang asik, baik, ramah, sopan, gaul dan care dengan temannya. Nggak ada anak nakal pembuat ulah lagi. Nggak ada lagi rokok, diskotek atau apalah itu di kehidupan Aristha dan Sintya sekarang ini.

Menjadi lebih baik jauh lebih menyenangkan. Kini Aristha bahagia, senang dan tidak kesepian lagi. Aristha memiliki banyak teman sekarang.

Thanks ya, Ril. Lo yang buat gue jadi kayak gini. Tanpa bantuan lo, gue nggak tau deh hidup gue akan tambah serunyem apa?! Thanks ya.. lo emang best friend gue yang paling the best! Gue nggak akan lupain lo seumur hidup gue. Gue janji!” ucap Aristha pada suatu siang sepulang sekolah.

“Iya. Santai aja, lagi. Gue bahagia kok, kalo lo juga bahagia. Itu guna teman. Tetap menjadi Aristha yang dulu. Itu permintaan terakhir Sonar, kan?”

“Darimana lo tau?” tanya Aristha bingung.

Sewaktu Sonar berbicara padanya untuk yang terakhir kalinya, dapat di pastikan bahwa hanya mereka berdua saja. Tidak orang lain saat itu. Bahkan, Aristha tidak pernah bercerita pada siapapun soal itu kecuali pada Sintya. Dan Aristha percaya kalau Sintya tidak akan mungkin membeberkan tentang hal itu pada siapapun termasuk Rilzie. Lagi pula, Sintya tidak dekat dengan Rilzie. kalimat yang di katakana Rilzie tadi sama persis dengan apa yang di katakan Sonar dulu. Tidak di lebih-lebihkan ataupun dikurang-kurang kan. Siapa sebenarnya Rilzie itu. Kenapa dia bisa begitu tau kehidupan Aristha?

“Rilzie, lo sebenarnya siapa sih? Kenapa lo begitu tau kehidupan gue. Semua masalah-masalah yang gue hadapi, lo tau. Bahkan lo tau permintaan terakhir Sonar sebelum dia pergi. Gue yakin seratus persen nggak ada orang lain saat itu. kenapa lo bisa tau? Dan kalimat yang lo ucapin tadi, sama persis dengan apa yang di ucapkan Sonar dulu.” Tanya Aristha bingung.

Rilzie hanya tersenyum.

“Gue bukan siapa-siapa kok.”

Namun, jawaban Rilzie tidak mungkin semudah itu dipercayai Aristha. Aristha terdiam memperhatikan Rilzie.

Siapa dia sebenarnya? Tanya Aristha pada dirinya sendiri.

***

Ada sesuatu yang ganjil! Itu yang di rasakan Aristha akhir-akhir ini. Rilzie, akhir-akhir ini dia jarang terlihat. Berulang kali Aristha mencoba menghubunginya. Tapi tidak ada jawaban! Aristha terus berusaha bertanya-tanya. Tapi ia tidak tau harus bertanya pada siapa?! Aristha tidak tau dimana rumah Rilzie. Aristha juga tidak tau siapa-siapa saja yang dekat dengan Rilzie. Ia baru mengenal Rilzie. Ia belum tau apa-apa tentang Rilzie.

“Sin, coba kita tanya sama kepsek. Siapa tau aja bisa bantu. Kita minta alamat rumah Rilzie. Lo mau bantuin gue, kan?” tanya Aristha pada jam istirahat ke 2 setelah 2 minggu lebih kepergian Rilzie yang entah kemana.

“Oke sip! Sekarang aja yuk.”

Aristha mengangguk dan mereka langsung berlari ke ruang kepsek.

Tok. Tok. Tok.

Mereka mengetuk pintu ruang kepsek.

“Silahkan masuk.” Jawab kepsek mempersilahkan.

Aristha dan Sintya memasuki ruangan itu dan duduk di bangku depan meja kepsek.

“Ada apa, Aristha, Sintya?” tanya kepsek.

“Hhm… sebenernya kami mau tanya tentang Rilzie, Bu. Udah 2 minggu lebih dia nggak masuk sekolah. kami hanya ingin tau, kemana dia? dan sekalian kami mau tanya alamat rumahnya, Bu. Bisa, kan?” tanya Aristha, sopan.

Ibu kepsek terdiam. Cukup lama hinggak akhirnya ia menjawab.

“Aristha, sebenarnya ibu tidak tau apa-apa tentang Rilzie. Ibu hanya tau kalau dia pindahan dari Amerika. Kalau alamat rumahnya ibu mungkin bisa memberitahu. Dan satu lagi, ada hal yang selama ini di tutupinya. Ibu tidak bisa memberitahu pada kamu tentang hal itu. Biar Rilzie saja yang memberithu langsung kepada kamu.” Jawab kepsek, ragu.

Arista terdiam.

“Boleh kami tau alamat rumahnya, Bu?” tanya Sintya yang sedari tadi hanya diam.

Ibu kepsek mengangguk dan menuliskan sesuatu di kertas.

“Ini. kalian cari tau sendiri saja ya. Maaf ibu tidak bisa memberitahu terlalu banyak.” Jawab Ibu kepsek dan menyerahkan secarik kertas.

Sintya menerimanya.

“Trima kasih ya, Bu. Ini udah lebih dari cukup kok. Kami permisi dulu. Selamat siang.” Ucap Sintya.

Sintya menarik tangan Aristha yang masih terdiam mematung.

“Tha, kok lo diem aja sih dari tadi?” tanya Sintya sambil memegangi secarik kertas berisi alamat rumah Rilzie.

“Nggak kok. Gue cuma masih bingung. Apa sih maunya Rilzie itu? dia tiba-tiba hadir di hidup gue. Dia merubah hidup gue. Dia bilang dia temen gue. Dan sekarang dia pergi gitu aja tanpa ada kejelasan apa-apa? Gue bener-bener nggak ngerti! Siapa sih dia?” tanya Aristha, sedih.

“Udahlah, Tha. Yang harus kita lakuin adalah mencari tau. Itu yang penting. Soal siapa dan apa maunya Rilzie, itu bisa kita dapati jawabannya setelah kita menemukan dia.” ucap Sintya menyakini.

Aristha terdiam.

***

Pencarian di lakukan di hari sabtu, weekend saat libur. Dengan tidak sabar Aristah mencari-cari rumah Rilzie.

“Ini benerkan alamat rumahnya?” tanya Aristha, ragu.

“Kata Ibu Kepsek sih, iya. Tapi gue nggak tau juga. Kita cari aja dulu. Masa iya Bu Kepsek ngebohongin kita?!” jawab Sintya yang agak sedikit ragu juga.

Aristha terpaksa mengangguk dan menyetujui ucapan Sintya.

Mereka melanjutkan pencariannya dan tiba-tiba…

“Sin, berhenti! Sebentar. Kayaknya, rumahnya yang itu deh. Jl. Permata Bunga 1 No. 15. Itu, Sin rumahnya. Kita berhenti di sini.” Ucap Aristha ketika ia memperhatikan sebuah rumah besar yang elit.

Aristha turun dari mobil di susul Sintya.

“Dari nomor sama jalan rumahnya sih, bener. Tapi kok rumahnya sepi ya?” tanya Sintya.

Aristha memperhatikan secarik kertas tersebut dan ia menatap nomor rumah di hadapannya.

“Iya sih. Kita coba aja dulu.” Ucap Aristha.

Sintya mengangguk.

“Permisiii…” sapa Sintya, ramah.

Tidak ada jawaban.

“Permisiii…” kali ini Aristha yang menyapa.

Masih tidak ada jawaban.

“PERMISIII…..” teriak Sintya, kesal.

Seorang wanita tua keluar dari rumah tersebut dan menghampiri Aristha dan Sintya.

“Kalian cari siapa ya?” tanya ibu itu, sopan.

“Benar ini rumahnya Rilzie?” tanya Aristha penuh harapan.

Ibu itu menatap Aristha dan Sintya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Kalian siapa ya?” tanya ibu itu tanpa menghiraukan pertanyaan Aristha.

“Kami teman sekolahnya. Sudah 2 minggu lebih Rilzie tidak masuk sekolah. kami hanya ingin bertanya, dia kenapa?” jawab Aristha, sopan.

“Rilzie sedang tidak ada di rumah.”

“Dia kemana?” tanya Aristha, kuatir.

“Kalian tidak perlu tau itu.”

Aristha heran.

“Kenapa kami nggak boleh tau? Kami hanya ingin bertanya dia kenapa nggak masuk 2 minggu lebih?” tanya Aristha, sebal.

“Sudahlah. Saya banyak kerjaan. Kalian tidak usah datang ke sini, lagi.”

Ibu itu pergi meninggalkan Aristha dan Sintya yang masih terheran-heran.

***

“Tha, kita harus kemana lagi? Ibu-ibu tadi nggak mau ngasih tau apa-apa tentang keberadaan Rilzie. Gue aneh deh. Masa kita nggak boleh tau keberadaan Rilzie sekarang?! Rese banget deh tu!” omel Sintya sambil menyetir mobilnya.

Aristha terdiam.

“Woy! Tha, kok lo diem aja sih?” tanya Sintya, bingung.

“Sin, gue jadi inget kata-kata Rilzie sewaktu dia masih ada dan nggak ngilang kayak gini. Dia bilang, dia bahagia kalo gue bahagia. Sekarang gue udah bahagia, kenapa dia ngilang gitu aja?”

Sintya mengangguk, meneliti.

Sudah beberapa minggu hingga sebulan Rilzie tidak ada kabar. Berulang kali Aristha dan Sintya mengunjungi rumahnya, tapi hasilnya tetap nihil! Seringkali mereka bertanya pada kepsek, namun kepsek tidak bisa menjawab apa-apa karena iapun tidak mengetahui apa-apapun tentang keberadaan Rilzie saat ini.

Rilzie memang benar-benar sudah menghilang entah dimana sekarang ia berada. Yang jelas ia tak kasat mata saat ini.

“Gue bener-bener nyerah nyari keberadaan Rilzie! Satupun informasi tentang dia nggak kita dapetin! Kemana sih dia sebenernya?!” omel Sintya pada suatu siang saat mereka tidak mendapat informasi apa-apa dari ibu tua yang tinggal di rumah Rilzie, lagi.

Aristhapun terdiam bersender di mobil Sintya. Mereka menyerah!

“Gue juga bingung, Sin! Gue juga capek!” ucap Aristha, lemah.

Mereka terdiam, bingung harus berbuat apa saat ini?!

***

Saat kesabaran sudah di titik akhir, ingin rasanya Aristha teriak sekencang-kencangnya. Kekecewaannya sudah tak bisa terbayarkan lagi, kecuali Rilzie kembali dan menjelaskan semuanya pada Aristha.

Dan sekarang Aristha sudah benar-benar bingung. Dia semakin membenci Rilzie.

Saat Aristha sudah menyadari bahwa ia mencintai Rilzie dan bisa mebuka hatinya untuk Rilzie, ia kehilangan cowok itu.

Sekarang, hanya Rizky yang selalu ada untuknya selain Sintya dan mamanya. Rizki masuk di kehidupan Aristha dan membuat Aristha sedikit tenang. Itu membuat Rilzie dalam posisi yang sangat rawan. Rilziepun memiliki rasa yang sama dengan Aristha. Lalu kenapa ia pergi begitu saja?

Banyak hal tentang Rilzie yang tidak di ketahui Aristha. Dan banyak hal yang tidak bisa di omongkan Rilzie pada Aristha, paling tidak untuk saat ini belum.

“Tha, jalan yuk. Hari ini gue ada konser di daerah kemang. Lo ikut yaa, please.” Ajak Rizky pada suatu siang.

“Ajak Sintya juga ya.” Ucap Aristha.

“Oke sip!”

Aristha tersenyum manis.

“Kapan?” tanya Aristha.

“Nanti sore. Gue jemput jam 3. Oke?”

Aristha mengangguk.

Aristha bersiap-siap dan menelepon Sintya agar bersiap juga. Pada jam 3 sore dan Sintya telah cukup lama berada di rumah Aristha, Rizky datang.

“Udah siap?” tanya Rizky saat Aristha dan Sintya duduk di teras rumah.

Aristha mengangguk.

Mereka memasuki mobil Rizky dan pergi dari situ.

Di perjalanan, Rizky memasang radio FGM dengan penyiar yang udah nggak asing lagi bagi Aristha.

“Yoi. Yoi. Yoi. Balik lagi nih dengan gue, Rebo di 111 FGM radio. Sekarang ini adalah season curhat dan lo lo semua bisa telpon ke 021-7898766. Bukan cuma buat curhat, lo semua juga bisa tanya-tanya apa aja sama orang yang curhat ke sini. Oke?” ucap penyiar itu, lincah.

Aristha tampak serius mendengarkannya.

Tililililit… Tililililit… Tililililit…

Tampak ada seseorang yang menelepon ke radio itu, dan itu membuat Aristha semakin serius.

“Oke. Ada yang penelepon nih. Hallo… dengan siapa dimana nih?” tanya penyiar itu.

“Hallo… gue… panggilnya aja gue Mr. RZ. Gue lagi di suatu tempat dimana gue nggak mau ada seorangpun yang tau.” Jawab penelepon itu.

Aristha terheran-heran.

“Apaan sih tu orang?! Sok, misterius banget!” protes Sintya, kesal.

“Syuuutt… berisik!” omel Aritha.

Sintya menutup mulutnya rapat-rapat.

“Oh yeah. Oke sip! Dengan Mr. RZ, lo mau cerita apa nih?” tanya penyiar menghargai privacy penelepon itu.

“Gue mau cerita tentang seorang cewek, yang gue harap dia lagi dengerin radio ini. Sebelumnya gue mau minta maaf dulu sama cewek itu. maaf karena udah ngilang gitu aja dari kehidupan dia.” ucap Mr. RZ.

“Oke. Terus?”

“Awal pertemuan, gue nggak sengaja nabrak dia di malam gue baru balik dari Amerika. Dia bentak gue, dan dia bilang kalo gue itu bego! Itu kalimat yang nggak akan pernah gue lupakan. Sampai keesokan harinya, gue sekolah di tempat dimana dia sekolah. gue ketemu dia lagi, saat itu dia lagi nangis di ujung koridor kelas. Itu pertama kalinya gue ngeliat dia nangis. Setelah itu, gue mulai cari tau tentang dia sama sahabat dekatnya. Gue bertekat banget buat ngerubah hidupnya yang hancur jadi lebih berwarna lagi, karena gue sayang dia. akhirnya gue berhasil, tapi, gue nggak bisa terlalu lama bersama dia dan ikut dalam kebahagiaannya, karena gue harus pergi untuk sementara. Gue hanya mau bilang, gue sayang dia. gue mau, dia tetep sabar nungguin gue sampai nanti gue akan bongkar semuanya ke dia.”

Aristha semakin serius dan kini ia menyadari sesuatu.

Dia mengenal suara penelepon itu!

“Rilzie!” ucap Aristha, histeris.

“Oke… thanks banget nih Mr. RZ. Gue juga berharap kalo lo dan cewek lo itu bisa bersatu. Sip! Tahan dulu nih ya. Bagi lo lo semua yang mau nanya-nanya tentang cerita Mr. RZ ini, telepon aja ke nomor 021-7898766. Gue tunggu nih.”

Aristha meronggoh isi tasnya dan mengambil ponselnya.

“Mau ngapain, Tha?” tanya Rizky, heran.

“Mau nelepon.” Jawab Aristha sambil menekan beberapa digit nomor di ponselnya.

Risky terheran tapi tidak melarang. Begitupun Sintya. Ia sangat memaklumi sikap sahabatnya sekarang ini.

Tuuuut… Tuuuuut….

“Waw udah ada penelepon nih. Hallo… dengan siapa dimana nih?” tanya penyiar radio.

“Hallo juga… ini dengan Aristha di mobil. He he he… boleh gue langsung nanya sama Mr. RZ atau gue bisa panggil dia Rilzie.” Jawab Aristha tetap tenang.

Sang penyiar mulai bingung.

“Waaaw… lo cewek yang dimaksud Mr. RZ ini?” tanya penyiar.

“Ya. Boleh langsung tanya?”

“Boleh.”

Aristha menarik napas panjang. Ia mencoba menenangkan dirinya. Ini pertama kalinya ia merasa sangat berat untuk berbicara pada cowok yang di cintainya.

“Ril, gue cuma mau nanya satu hal. Kenapa lo menghilang?” tanya Aristha menahan tangisnya.

Hening…

Rilzie tidak menjawab apa-apa. Iapun merasa sangat sakit. Ia tidak bisa berbicara pada Aristha karena dia tau apa yang di rasakan Aristha saat ini.

“Ril, please jawab gue. Lo bilang lo sayang sama gue. Kenapa lo buat gue bingung? Kenapa lo buat gue ragu?” tanya Aristha lagi. Kali ini ia menangis.

Tetap hening…

“Oke. Mr. RZ, kenapa lo diem?” tanya penyiar itu, ikut bingung.

Tut. Tut. Tut. Tut. Tut.

Hubungan terputus.

“Sorry banget nih, Aristha. Mr. RZnya memutuskan hubungan. Apa lo mau nyampein sesuatu? Siapa tau dia denger dan mudah-mudahan dia mau muncul lagi di kehidupan lo.” penyiar itu menawarkan bantuan.

Aristha terdiam.

Ini adalah sesuatu yang sangat berat sekali untuknya. Rilzie, menghilang dan sekarang dia nggak mau ngomong dengan Aristha. Itu kenyataaan yang sangat menyakitkan sekali bagi Aristha.

“Hallooow…” panggil penyiar itu.

“Gue cuma mau ngomong sama Rilzie tentang satu hal. Gue benci lo! saat ini! gue kecewa sama lo! gue pikir lo itu sahabat gue yang paling baik. Tapi nyatanya, lo ngilang gitu aja dan sekarang lo nggak mau ngomong sama gue. Sakit, Ril rasanya! Gue… gue… gue say…” Aristha terdiam. Ia menggantungkan kalimatnya. “Gue… gue sayang sama lo. gue udah menganggap lo kayak abang gue sendiri. Gue bener-bener kecewa!!!”

Aristha menangis dan memutuskan hubungan juga.

“Oke. Hubungan di putusin juga. Buat lo Mr. RZ. Please deh, kayaknya lo harus balik. Gue yakin kok, Aristha bukan cuma sayang sama lo sebagai sahabat ataupun abang, tapi juga sebagaiii… ya gue harap lo ngerti ya. Kasian lho. Dan buat Aristha, sabar aja ya. Gue yakin kok, suatu hari nanti Mr. RZ akan menjawab semua keraguan lo. sabar yaa… sumpah! Ini cerita yang paling buat gue cukup sedih. Nggak nyangka aja. Dan buat lo lo semua yang mau curhat-curhatan, bisa langsung telepon ke 021-7898766. Sekarang, gue kasih lagu ungu tercipta untukmu nih. Tetap dengerin FGM radio yaa…” ucap penyiar itu.

Lalu terdengar alunan lagu ungu yang membuat Aristha semakin bersedih. Hatinya benar-benar kacau saat ini. ia bingung dengan perasaannya yang begitu sakit saat ini.

***

BAB 3

Hati Aristha sudah remuk. Nggak ada lagi harapan dia untuk bertemu Rilzie. Untuk sekedar berbiacara padanya saja Rilzie tidak mau.

Sebenarnya bukan tidak mau. Tapi Rilzie belum siap mendengar tangis Aristha.

Aristha terdiam di sebuah bangku di depan tenda besar yang merupakan tempat istirahat para anggota personil band yang sedang manggung di salah satu mall di daerah kemang. Suara bising music tidak di hiraukannya. Ingin rasanya ia mebenci Rilzie. Tapi tidak bisa. Semakin ia membenci Rilzie, semakin ia menyayangi cowok itu.

“Tha, jangan diem aja dong.” Tegur Sintya yang juga sedih melihat keadaan sahabatnya ini.

Aristha menatap Sintya, lemah.

“Gue bingung, Sin. Kenapa dia kayak gitu? Kenapa dia nyakitin perasaan gue?” tanya Aristha.

“Gue tau kok perasaan lo.”

Aristha terdiam lagi menatap kejauhan.

Mungkin hanya diam yang bisa dilakukan Aristha saat ini. Hatinya benar-benar kacau balau.

“Sin, Aristha kenapa?” tanya Rizky setelah selesai manggung.

Sintya menggeleng.

“Nggak tau. Mungkin karena radio itu.”

“Rizkyyy…… foto bareng dooong…” ucap salah satu fans terberat Rizky.

“Rizkyyy…… minta tanda tangannya dooong…” ucap fansnya yang lain.

“Rizkyyy…… sini dooong….” Panggil fansnya lagi.

Ya. Ya. Ya.

Susahnya jadi cowok keren yang di idolakan para kaum hawa.

Risky hanya tersenyum tanpa menuruti kemauan fansnya. Bukan karena sombong. Tapi karena dia ingin di samping Aristha dulu untuk saat ini.

Fans lo manggilin tuh dari tadi.” Aristha mengingatkan.

“Biarin aja. Gue mau sama lo. gue pengen menghibur lo.”

“Udah sana. Nanti mereka kecewa lho.”

“Yaudah deh kalo itu mau lo.”

Rizky menghampiri para fansnya yang sedari tadi memanggil namanya.

***

“Thanks ya udah nemenin gue manggung.” Ucap Rizky saat mereka sampai di depan rumah Aristha.

“Iya. Sama-sama.”

“Sin, lo jadi nginep di rumah Aristha, kan? Jagain dia ya. Buat dia tersenyum” pinta Rizky sambil melirik Aristha.

Sintya mengangguk dan tersenyum.

“Pasti!”

Aristha dan Sintya turun dari mobil.

“Hati-hati ya.” Ucap Aristha mengingatkan.

Risky mengangguk dan pergi dari situ.

Aristha dan Sintya memasuki rumah.

Di kamar, Aristha masih diam. Sintya bingung menghadapi sikap sahabatnya ini. ia sangat memaklumi sikap Aristha. Sangat! Tapi ia juga tidak ingin Aristha terlalu bersedih. Ia tidak mau membuat sahabatnya sedih lagi. Sudah terlalu sering Aristha bersedih. Aristha baru saja bahagia, dan Sintya tidak ingin Aristha langsung bersedih.

“Kenapa?” tanya Aristha saat mengetahui Sintya sedang memperhatikannya sedari tadi.

“Lo sayang Rilzi ya?” Sintya balik bertanya.

Aristha mengangguk lemah.

“Mungkin. Gue juga masih bingung.” Jawab Aristha, jujur.

Sintya berdecak.

***

Senin pagi di sekolah…

Hari ini adalah hari yang sangat berat untuk Aristha. Begitu cukup banyak kenangannya dengan Rilzie di sekolah ini. apalagi di ujung koridor kelas. Itu adalah saat pertama ia merasa jatuh cinta pada Rilzie. Dimana Rilzie benar-benar merubah hidupnya.

Bel berbunyi tanda pelajaran di mulai. Namun, Aristha tidak bereaksi apa-apa. Ia tetap duduk mematung di mejanya. Pikirannya melayang dan berpusat pada sosok Rilzie.

“Selamat pagi anak-anak.” Sapa Pak Gundo yang merupakan Guru Matematika.

“Pagi, Paaak…” jawab anak-anak serentak, kecuali Aristha.

Pak Gundo memperhatikan Aristha yang sedari tadi hanya diam mematung tanpa ekspresi.

“Aristha.” Panggil Pak Gundo.

Aristha tetap terdiam.

“Aristha.” Panggil Pak Gundo lagi.

Aristha tetap tidak menyahut.

“ARISTHA!”

Aristha terkejut.

“Ya. Ada apa, Pak?”

Seketika murid-murid seisi kelas tertawa terbahak-bahak, kecuali Sintya pastinya.

“Kamu ini. melamun saja! Ada apa kamu?” tanya Pak Gundo.

“Maaf, Pak.”

Pak Gundo yang terkenal sedikit baik, tidak terlalu melebih-lebihkan masalah itu. Ia kembali mengajar.

Walau tidak konsen dalam belajar, Aristha tetap memperhatikan pelajaran yang di ajarkan guru-gurunya satu harian itu.

“Masih mikirin, Rilzie?” tanya Rizky tiba-tiba di depan gerbang sekolah SMA Jaya 2.

Aristha terkejut.

“Rizky! Ngagetin aja deh.”

“Makanya jangan melamun terus.”

Aristha tersenyum, malu.

Rizky mengantar Aristha pulang dan mampir sebentar di situ.

Menghibur Aristha adalah satu-satunya yang bisa di lakukan Rizky saat ini. dia menyadari bahwa dia tidak bisa menggantikan posisi Rilzie di hati Aristha. Sampai kapanpun. Karena dia tau kalau Rilzie akan selalu ada tempat di hati Aristha.

“Tha, lo jangan sedih lagi dong. Aristha yang gue kenal pertama kali adalah Aristha yang tegar, nggak cengeng dan optimis. Kenapa sekarang jadi cengeng?” tanya Rizky di bangku taman belakang rumah Aristha.

Aristha bersender di bahu Rizky.

“Gue juga bingung. Ki, andai gue jatuh cintanya sama lo, gue pasti bahagia banget. Lo adalah cowok yang sempurna di mata cewek-cewek termasuk di mata gue.”

Risky terdiam. Tidak menyangka ia begitu berarti di mata Aristha. Cewek yang sangat di cintainya.

“Makasih ya, Ki. Gue sayang lo.”

***

Aristha sudah bertekat membuka hatinya untuk Rizky. Setidaknya Rizky selalu ada saat Aristha merasa kesepian. Dan Rizkypun menemani hari-hari Aristha dimana sosok Rilzie telah menghilang. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk Aristha melupakan orang yang di cintainya, lagi. Berat memang, tapi ini keputusan yang harus diambilnya. Iapun tidak mau berlama-lama bersedih. Kesedihan adalah musuhnya saat ini. ia ingin bahagia walau tanpa orang yang di cintai dan di sayanginya. Setidaknya ada orang yang sangat mencintai dan menyayanginya saat ini.

“Tha, are you sure if you want be my girlfirend?” tanya Rizky yang heran dengan sikap Aristha yang tiba-tiba saja bilang bahwa ia mau menjadi pacar Rizky.

“Ya. Lo nggak yakin sama gue?” Aristha balik bertanya.

“Gue bukannya nggak yakin. Tapi gue nggak mau jadi pelampiasan. Lebih baik lo nolak gue, daripada lo jadiin gue pelampiasan. Lebih baik lo pikirin dulu matang-matang. Jangan lo memilih sesuatu yang lo sendiri belom yakin.”

“Gue yakin kok! I want be you’re girlsfriend, Rizky. Sure! You must believe to me.

Rizky menggeleng mantap.

“Lo nggak cinta sama gue. Lo hanya mencintai Rilzie. Tanya hati lo. jangan tanya pikiran lo. hati itu tulus. Sedangkan pikiran penuh ego. Jangan mengambil keputusan yang akan lo sesali di hari nanti. Gue mau, lo pikirin lagi. Gue sayang lo. tapi nggak gini caranya. Gue mau lo bahagia bersama orang yang lo cintai. Bukan dengan orang yang mencintai lo aja.”

Aristha terdiam tak mampu berkata-kata lagi. Ia sadar kalau ia hanya mencintai Rilzie saja memang. Tapi apa salah kalau ia ingin membuka hatinya dan belajar mencinta Rizky?

“Gue mau belajar mencintai lo, Ki. Cuma itu. gue nggak mau terus mengharapi Rilzie yang keberadaannya nggak jelas kayak gini. Apa salah?” Aristha tertunduk, lemas.

Risky merangkulnya.

“Tha, kalo lo sayang sama Rilzie, lo tunggu dia sampai kapanpun. Jangan nyerah kayak gini. Gue tau perasaan lo. gue bukannya nggak mau jadi cowok lo. tapi gue nggak mau lo terpaksa mencintai gue. Hati nggak bisa di paksain, Tha. Rilzie pasti kembali. Lo harus percaya itu. dengerin kata hati lo, Tha.”

Aristha menangis. Hatinya benar-benar bingung. Apa yang di katakana Rizky memang benar.

“Lo nggak harus selalu sedih karena menunggu Rilzie. Tapi lo harus tetep seneng dan ceria. Anggap aja dia lagi keluar negri dan akan kembali secepatnya.” Ucap Rilzie, menghibur.

Aristha tersenyum menatap Rizky.

Thanks, Ki.”

Rikzy mengangguk dan tersenyum.

Yeah. Rizky memang sahabat yang baik. Pengertian dan tidak egois. Itu adalah sosok sikap dewasanya.

Mungkin Aristha harus belajar lagi. Kali ini bukan dari Rilzie. Tapi dari Rizky.

Oh ya! Aristha ingat dengan abangnya sekarang. Sekarang adalah tepat 3 tahun abangnya di penjara dan ini waktunya abangnya keluar dari penjara. Aristha tersentak. Ia memukul keningnya.

“Oh iya! Aduh kok gue bisa lupa ya?” tanyanya pada dirinya sendiri.

“Kenapa, Tha?” tanya Rizky yang terkejut melihat perubahan sikap Aristha.

“Hari ini kan waktunya abang gue di bebasin dari penjara. Asik! Gue kangen banget sama dia. Ki, lo mau nemenin gue jemput abang gue nggak? Bareng mama gue dan Sintya juga.” Ajak Aristha.

“Oke sip!”

Aristha dan Rizky pergi meninggalkan taman itu.

***

Seorang cowok muda, berambut pendek, berkulit putih, tinggi, mancung dan tampan memasuki sebuah rumah sederhana bersama dengan Aristha, mama Aristha, Sintya dan Rizky. Cowok itu adalah abang Aristha yang bernama Alvin Reynatan.

Cowok yang sangat tampan namun sayang mantan pecandu. Tapi sekarang pemuda itu sudah bersih. Ia sangat menyesali apa yang telah di lakukannya dulu.

Penyebab cowok itu di panjara adalah sahabatnya. Karena sahabatnya ia di penjara. sekarang semuanya sudah beres. Tapi masih ada rasa benci di hatinya pada sahabatnya. Walaupun saha1batnya sudah berulang kali meminta maaf, hatinya masih belum bisa memaafkan.

“Seneng deh bisa balik ke rumah lagi.” Ucap Alvin.

“Aristha juga seneng abangku yang ganteng ini bisa balik lagi ke rumah. Selamat datang kembali…”

Aristha tersenyum.

“Yaudah sekarang kita makan malam dulu aja ya. Ayuk. Mama udah siapin makanan yang paling spesial khusus untuk kamu, Alvin. Jangan lakuin itu lagi ya sayang. Mama nggak mau kejadian itu terulang lagi.”

“Iya, Ma. Maafin Alvin ya…”

Alvin memeluk Mamanya.

Mereka langsung menghampiri ruang makan dan makan bersama.

***

Rizky dan Sintya sudah pulang. kini tinggal Aristha, Mamanya dan Alvin. Alvin dan Aristha duduk di gazebo. Aristha menyenderkan kepalanya ke bahu Alvin. Ia sangat merindukan abangnya.

“Bang, aku kangeeen banget sama abang.” Ucap Aristha, manja.

“Aku juga. Kamu gimana selama abang nggak ada?”

Aristha terdiam sejenak lalu menjawab dengan agak sedikit berat hati.

“Kacau! Hidup aku kacau semenjak abang, Sonar dan Sheri ninggalin aku. Aku kayak hidup sendirian. Mama sibuk dengan urusan butiknya. Papa nggak tau kemana. Pokoknya hidup aku kacau. Sampai suatu hari aku bertemu dengan seseorang. Namanya Rilzie. Dia udah banyak merubah hidup aku. Dia yang udah beri warna hidupku. Tapi sekarang, dia menghilang nggak tau kemana. Nggak ada kabar.”

Alvin terheran.

“Maksud kamu?”

“Iya. Dia pergi gitu aja tanpa bilang apa-apa. Nggak ada kabar sama sekali. Berulang kali aku tanya kerumahnya, nggak jawaban atas pertanyaanku. Aku kangen dia.” Aristha tampak sedih.

Alvin membelai rambut panjang Aristha. Ia bisa merasakan kesedihan di hati Aristha.

“Kamu percaya dia?”

Aristha mengangguk.

“Tha, terkadang ada sesuatu di hati seorang cowok yang tidak mampu ia katakan pada orang yang dicintainya. Bukan tidak ingin. Tapi tidak mampu. Tidak mampu dalam arti tidak siap melihat orang yang di sayanginya terluka ataupun bersedih. Mungkin ia memiliki suatu rahasia yang dia tidak mampu ia katakan pada seorangpun termasuk kamu. Sabar aja. Cepat atau lambat, kamu pasti tau apa penyebab dia menghilang.”

Aristha terdiam. Alvin ada benarnya. Bukannya Rilzie tidak mau Aristha tau penyebab menghilangnya dia. tapi Rilzie tidak mampu dan belum siap saja.

“Kamu ngerti?” tanya Alvin.

Aristha mengangguk.

***

Bab 4

Kehilangan adalah hal yang sangat menyakitkan. Tapi akan terasa jauh lebih melegahkan bila kita mengikhlaskan semuanya.

Menghilangnya Rilzie tidak harus mematahkan semangat Aristha. Ia harus tetap ceria walau akan banyak masalah yang menghampirinya. Itu keputusan cewek manis ini.

“Eh kawan-kawanku sebangsa dan setanah air… apakah kalian berminat untuk kembali memainkan permainan waktu SD?” tanya seorang cewek pendek, berbadan kurus, berambut lurus pendek dan berkulit sawo matang pada jam istirahat ke 2.

Seketika semua mata tertuju padanya.

“Apaan sih! Kayak anak kecil aja deh!” protes salah satu cewek centil yang kerjaannya nyisiiir mulu.

“Kalo lo nggak mau yaudah. Lagipula rugi besar ngajak lu! Hahaha…” ledek cewek yang menawari permainan itu.

“Gue ikuuut…” ucap cewek di pojokkan.

“Gue juga.”

“Gue ikut doong.”

“Kayaknya seru tuh. Ikuuut…”

Aristha tampak tertarik dengan permainan itu.

“Ikut yuk, Sin. Udah lama nggak main permainan waktu SD. Hihihi…” ucap Aristha.

Sintya menganga kecil.

“Hah? Yang bener aja lo. tapiii… yaudah deh. Ichaaa… gue sama Aristha ikuuut…” ucap Sintya.

“Asiiiik…” ucap cewek yang bernama Icha itu.

Aristha dan Sintya menghampiri beberapa cewek di depan kelas.

“Main apaan nih?” tanya Aristha.

“Hhm… donal bebek! Setuju???” Icha balik bertanya.

“SETUJUUU!!!”

“Geserin dulu meja-mejanya bentaran.” Ucap Icha sambil menggeseri meja depan.

Mereka mulai bermain. Betapa seperti anak kecilnya mereka. Aristha tertawa girang saat dirinya mendapat jatah untuk maju menginjak kaki temannya.

“Yey. Gue lagiiii. Hahaha…” ucap Aristha, senang.

Semua ikut tertawa tak terkecuali orang-orang yang hanya menonton.

Aristha menatap seluruh temannya yang ikut bermain. Ia memilih-milih lawan yang ingin di kalahkannya.

“Hhm…”

Tanpa berpikir terlalu lama, kakinya langsung melangkah menghampiri kaki Rina dan kena! Rina kalah.

“Aristhaaa… huhuhu… kalah dah gua. Hahaha…” ucap Rina.

“Yey! Hahaha…” Aristha tertawa, senang.

Beberapa menit kemudian, yang tersisah tinggal Aristha dan Icha. Siapakah yang menang???

Ketika beberapa detik untuk suit, Icha dapat jatah deluan menginjak.

“Aristhaa… be careful. Hahaha…” ucap Sintya yang asik duduk di meja sambil menyaksikan Aristha vs Icha di babak terakhir.

Aristha tengah bersiap-siap melompat mundur dan Icha langsung maju namun Aristha lebih dulu mundur jadi belum terinjak.

“Yey!” ucap Aristha.

“Hahaha… hampir tuuuh ckckck… Aristha keren uii.” Ucap Icha, kagum.

Aristha hanya nyengir.

Kembali mereka bersuit dan kali ini yang menang Aristha. Icha keringat dingin.

“Ichaaa… hadapi tembokmu, Nak. Hahaha…” ucap Sintya tertawa geli.

Icha tampak bersiap-siap untuk mundur. Tapi apa daya, Aristha lebih cepat melesat dari yang sebelumnya. Mau tidak mau, Icha harus menerima kekalahannya.

“Yey! Yey! Yey! Berhasil. Berhasil. Horreee!!!” ucap Aristha, senang di sertai tawanya.

Icha tampak muram namun tidak membenci Aristha karena menurutnya ini hanyalah permainan. Menang atau kalah sudah biasa.

***

Ada atau tidak adanya seseorang yang sangat berarti buat kita memang sangat merubah arah perasaan. Tapi tidak merubah jati diri kita.

Oke. Sekarang soal perasaan yaitu rasa benci. Benci dan dendam dapat membuat seseorang menjadi orang yang sangat menyeramkan. Dan memang seharusnya rasa benci dan dendam itu tidak boleh ada. Karena dapat membuat kerugian di dua pihak. Pihak diri kita sendiri dan pihak orang yang menjadi target.

Alvin saat ini tengah duduk di bangku sebuah caffe di daerah kemang, Jakarta Selatan. Tampak ia sedang menunggu seseorang entah siapa. Matanya menerawang kejauhan dan entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini.

Saat seorang pemuda datang mendekatinya, ia tersenyum namun bukan senyum yang tulus. Seperti ada yang di sembunyikannya.

“Hei, bro. Apa kabar lo?” tanya pemuda itu dan duduk di sebelah Alvin.

“Menurut lo?” Alvin balik bertanya.

“Oke! Sekali lagi, gue minta maaf.” Jawab pemuda itu.

Alvin tersenyum, pahit.

“Vin, gue tau kok lo belom bisa maafin gue. Tapi gue bener-bener minta maaf banget sama lo. Apa yang udah gue lakuin di masa lalu memang sulit untuk lo lupain. Gue harus lakuin apa suapaya lo mau maafin gue?”

Alvin terdiam menatap cowok di sampingnya.

“Nggak ada. Lo nggak perlu melakukan apapun.”

“Tapi kenapa lo belom maafin gue?”

“Eh, lo pernah berpikir kalo lo ada di posisi gue dulu? Seandainya lo jadi gue, apa lo akan dengan mudahnya memaafkan kesalahan yang pernah lo lakuin dulu?” Alvin mulai terlihat emosi.

“Oke. Oke. Gue nggak akan maksa lo lagi untuk maafin gue.” Ucap pemuda itu akhirnya.

“Sekarang lo mau ngomong apa? Lo ngajakin gue ketemuan untuk apa?” tanya Alvin berusaha menahan emosinya.

Pemuda itu tampak menarik napas panjang yang terasa sangat berat.

“Vin, Reina mau ketemu lo. Katanya dia kangen sama lo. Lo mau ketemu dia lagi?”

Alvin semakin emosi ketika mendengar nama Reina.

“Adrian, kenapa sih lo slalu nanya hal yang lo sendiri udah tau jawabannya?!” bentak Alvin pada pemuda yang bernama Adrian itu.

“Vin, gue tau dan gue juga udah bilang itu ke Reina. Tapi dia tetep keukeh. Dia mau ketemu lo!”

“Nggak tau malu banget sih tu cewek! Sial! Masih punya muka dia ketemu gue?!” omel Alvin.

“Bener-bener udah nggak ada kesempatan lagi buat Reina? Udah nggak ada kata maaf lagi untuk dia?” tanya Adrian, pelan dan lemah.

Alvin terdiam namun beberapa detik kemudian ia menggeleng dan pergi meninggalkan Adrian.

***

Kenangan pahit memang sangat sulit untuk di lupakan. Sama seperti kenangan terindah. Itu memang sudah lama terjadi. Dan seharusnya Alvin sudah bisa melupakan dan memaafkan kesalahan cewek yang bernama Reina. Reina adalah mantan Alvin yang udah nyakitin Alvin dulu. Cewek itu selingkuh di depan Alvin saat Alvin terkena banyak masalah. Saat Alvin merasa sendirian, cewek itu malah ninggalin Alvin. So, bukan salah Alvin kalau sekarang ia belum bisa melupakan kejadian itu apalagi memaafkan kesalahan Reina.

Namun, Alvin tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Ia masih sangat mencintai Reina. Tapi apa yang udah di lakukan Reina dulu telah membuat rasa cintanya menjadi rasan benci yang begitu dalam. Seseorang yang Alvin pikir akan selalu menemaninya dan dapat membantunya mengatasi masalahnya, malah selingkuh di depannya. Sakit! Itu yang di rasakan Alvin saat ini.

Dan di tambah lagi sahabatnya yang mengkhianatinya. Adrian. Saat Alvin kehilangan Reina dan hanya Adrian yang bisa membantunya, tapi Adrian malah mengkhianatinya dengan menjebloskannya ke dalam penjara. Apa itu yang namanya sahabat?

Oke. Alvin memang pecandu. Dan Adrian nggak salah kalau melaporkan Alvin ke polisi, kalau posisi Adrian bukan sebagai sahabatnya. Tapi ini, dia sahabatnya! Sakit sekali rasanya di khianati oleh sahabat sendiri. Sahabat yang katanya akan menutupi aib sahabatnya, mana? Itu nggak di buktiin oleh Adrian. Dan Alvin kecewa! sama dengan halnya dia kecewa dengan Reina.

“Bang, kok diem aja sih? Lagi mikirin siapa tuh?” tanya Aristha saat ia sampai di rumah dan melihat abangnya sedang melamun di ruang tv.

Alvin tersadar.

“Hei. Enggak kok. Kamu udah pulang?”

“Yaudah lah, bang. Lagi mikirin apa sih?” tanya Aristha, lagi.

“Enggak. Abang lagi nggak mikirin apa-apa. Gimana, udah dapet informasi tentang Rilzie belum?” Alvin balik bertanya.

Aristha terdiam. Ia seakan mengingat kembali sosok Rilzie yang tiba-tiba menghilang.

“Hei. Kok diem sih?” tegur Alvin.

“Belum. Aku nggak tau sekarang dia dimana.” Jawab Aristha akhirnya.

“Sabar ya…”

“Oke sip! Hahaha…” Aristha tertawa. Tawa yang sama sekali bukan tawa yang tulus. Ia hanya ingin mencoba menutupi kesedihannya.

***

Urusan percintaan memang sangat ribet dan merepotkan. Menyita banyak waktu dan pikiran. Tanpa cinta dunia ini terasa hampa. Tapi semakin banyak cinta, semakin banyak orang yang menderita.

Berbicara soal cinta berarti berbica soal hati dan perasaan. Itulah yang membuat manusia terkadang tidak bisa mengendalikan dirinya karena cinta. Karena cinta bukan dari pikiran ataupun logika. Tapi dari hati dan perasaan.

Semua cinta itu indah asalkan berasal dari hati yang tulus. Kita tidak boleh menyalahkan cinta kalau kita menderita karenanya. Karena yang salah adalah manusia yang tidak pernah mengerti arti dan tujuan dari sebuah cinta.

Cinta dan hidup akan saling berkaitan.

Hidup dan percintaan Aristha memang belum sempurna. Orang yang dia sayang, orang yang di harapkannya akan hadir malah tidak ada saat ia membutuhkan orang itu.

Mungkin hidupnya kini sudah seperti apa yang dia harapkan. Tapi terasa kurang lengkap kalau orang yang di sayanginya tidak ada untuk mengisi kebahagiaannya.

***

Bab 5

Semua orang punya alasan tersendiri mengapa ia meninggalkan orang yang di cintainya. Begitupun dengan Rilzie. Ia punya alasan tersendiri kenapa ia pergi dari kehidupan Aristha setelah ia merubah hidup cewek itu.

Rilzie tidak seperti cowok remaja lainnya. Ia memiliki satu penyakit yang tidak bisa di sembuhkan. Yaitu kelainan jantung. Ia sudah menderita penyakit itu sejak SD. Ia tinggal di Amerika untuk program penyembuhan yang ia tau akan sia-sia. Sampai akhirnya ia bersikeras untuk ke Indonesia dan break dalam penyembuhannya.

Saat ini ia masih berada di Indonesia. Namun dirinya seakan telah di telan bumi bagi Aristha. Karena cowok itu sama sekali tidak ada kabarnya.

Sama sekali tak ada niat Rilzie menyakiti perasaan Aristha. Sedikitpun tidak. Ia menyayangi cewek itu. itulah sebabnya ia belum mau jujur tentang penyakitnya. Ia tidak mau Aristha jadi kepikiran juga. Ia hanya ingin melihat cewek itu tersenyum. Bukan bersedih. Apalagi sampai kepikiran dengan penyakitnya saat ini.

Saat ini Rilzie tengah terbaring lemah di sebuah Rumah Sakit khusus untuk penyakitnya. Perobatan yang ia lakukan saat ini adalah hal yang sangat sia-sia menurutnya. Toh umurnya sudah tidak panjang lagi. Itu yang selalu ada di pikirannya. Ia sudah pesimis.

Wajahnya pucat dan tubuhnya agak lebih kurus dari yang sebelumnya. Ini adalah tahap terakhir dari penyakitya. Kalau di bilang stadium, dia udah masuk ke stadium 4 alias yang terakhir. Memang kecil kemungkinan untuk selamat, tapi harapan harus selalu ada.

Mamanya selalu bilang “Sekecil apapun harapan itu, kamu harus tetap percaya kalau masih ada kesempatan untuk kamu.” Namun apa yang di katakana mamanya sama sekali tidak membuat Rilzie bersemangat.

Rilzie pernah berkata pada Aristha kalau kehidupannya dulu sama seperti Aristha. Ia merasa orang yang di sayanginya pergi meninggalkan dia. itu di karenakan orang tuanya yang sempat berpisah dan sekarang telah rujuk kembali dan sahabat-sahabatnya yang meninggalkan dia tanpa sebab.

Tapi saat ini, Rilzie merasa ia memiliki semuanya. Walau sahabat-sahabatnya entah kemana, setidaknya ia memiliki kedu orang tua dan Aristha.

Walau Rilzie hanya memiliki sedikit harapan, ia tetap ingin tersenyum di hadapan Aristha.

Rilzie pernah berkata pada mamanya “Rilzie nggak mau tidur, Ma.. Rilzie nggak mau kalau Rilzie bangun nanti, Rilzie udah nggak di dunia lagi.” Dan kalimat itu membuat Mamanya semakin sedih.

***

Rilzie membuka matanya perlahan-lahan. Ia mengamati sekitarnya. Ia menatap langit-langit ruangan kamarnya. Wajahnya sangat pucat. Tubuhnya sangat lemas.

Dari balik pintu, muncul Mamanya sambil menahan tangis. Rilzie tersenyum. Senyum yang membuat Mamanya semakin ingin menangis.

Mamanya baru saja dari ruangan dokter yang menangani Rilzie. Dokter berkata umur Rilzie tinggal beberapa bulan lagi. Mamanya sempat marah-marah dan menyuruh dokter itu untuk memeriksa lagi.

“Dok, dokter nggak ada hak untuk menentukan umur anak saya. Hidup dan mati anak saya ada di tangan Tuhan. Bukan di tangan dokter. Saya mau dokter periksa kembali lagi. Saya yakin umur anak saya masih panjang!” protes Mamanya pada saat itu.

“Bu, saya sudah memeriksanya samapi 3 kali. Hasilnya tetap sama. Kondisi anak ibu semakin memburuk. Ibu tau kan kalau penyakit anak ibu itu belum ada obatnya. Saya pernah menawar kan anak ibu untuk di operasi walaupun saya tidak bisa menjanjikan keselamatan pada anak ibu. Dan ibu menolak. Saya sudah berusaha sekuat tenaga saya, Bu. Saya tau perasaan ibu, tapi ini kenyataan yang harus ibu terima. Anak ibu bisa hidup sampai sekarang ini itu sudah sangat mujizat sekali. Ibu harus tetap bersyukur.” Ucap Dokter berusaha menenangakan Mama Rilzie yang sangat histeris.

Mamanya hanya bisa menangis.

“Ma… mama kenapa diem aja di situ?” tanya Rilzie saat melihat Mamanya terdiam di dekat pintu ruangan kamarnya.

Mamanya tersenyum lalu berjalaan mendekatinya.

“Enggak. Mama enggak kenapa-kenapa. Apa yang kamu rasain saat ini, Nak?”

Rilzie tersenyum.

“Rizlie kangen Aristha. Rilzie mau ketemu Aristha lagi.”

“Siapa Aristha?” tanya Mamanya, penasaran.

“Teman Rilzie selama Rilzie di Indonesia.”

Mamanya tersenyum dan membelai rambut pirang Rilzie.

Saat ini Rilzie memang merindukan Aristha. Tapi entah kenapa, ia tidak mau Aristha melihatnya dalam keadaan sakit. Ia mau Aristha melihatnya dalam keadaan normal seperti saat Aristha bertemunya dulu.

***

Walau kini Aristha sedikit membenci-tepatnya bukan membenci tapi kecewa-pada Rilzie tapi ia tidak bisa membohongi dirinya kalau dari dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia sangat merindukan cowok itu. ia ingin bertemu tapi tidak tau keberadaan cowok itu.

“Lo sebenerya dimana sih, Ril?” tanya Aristha pada suatu sore di kamarnya.

Ia menatap lurus keluar jendela. Menikmati suasana sore yang sangat sejuk.

Pikirannya melayang memikirkan Rilzie. Perasaannya mula tidak enak. Seperti ada sesuatu yang telah terjadi pada Rilzie.

“Lo baik-baik aja kan, Ril?” tanyanya lagi.

***

Pagi hari, hujan sudah mengguyur sebagian kota Jakarta. Bulan ini memang musim hujan. Tinggal sebentar lagi menjelang tahun baru. Di awal tahun baru nanti, Aristha berharap ia bisa merayakannya bersama Rilzie. Mungkin, karena ia hanya bisa berharap itu terjadi.

Sekolah SMA Jaya 2 terlihat masih sepi walau angka jarum jam menunjukkan pukul 06.30 waktunya masuk sekolah. bel sudah berbunyi beberapa detik yang lalu namun kelas Aristha masih terlihat sepi. Hanya beberapa orang saja yang duduk sambil mengenakan jaket termasuk Aristha. Ia baru saja datang, memakai jaket berwarna ungu muda, warna kesukaannya. Ia duduk di bangkunya.

Hanya 10 atau 11 orang saja yang berada di kelas itu. Sintya, sahabatnya belum datang.

Aristha terdiam, lalu beberapa detik kemudian ia bangkit berdiri, berjalan keluar kelas. Langkahnya santai.

***

Setelah habis berkeliling sekolah, Aristha kembali ke kelasnya. Seketika langkahnya terhenti. Ia menatap bangku di belakangnya yang merupakan tempat duduk Rilzie. Ia melihat sosok penghuni bangku itu tengah tersenyum kearahnya. Seketika Aristha terkesima. Terdiam mematung di dekat pintu. Matanya menatap lurus pada penghuni bangku belakangnya.

“Aristha. Lo ngapain diem di sini?” sosok Sintya datang dan menepuk bahu Aristha, pelan.

Aristha tersadar.

“I.. itu. Rilzie?!” tanya Aristha gugup.

Sintya menatap Rilzie. Ekspresinya bukan terdiam seperti Aristha. Ia malah tersenyum dan menghampiri Rilzie.

“Akhirnya lo dateng juga.” Ucap Sintya dan memeluk Rilzie.

“Iya.” Ucap Rilzie.

Sintya melepas pelukannya lalu menghampiri Aristha dan menarik Aristha menghampiri Rilzie.

“Hei, Tha.” Sapa Rilzie dan tersenyum.

“Hai. Darimana aja lo?” tanya Aristha menyembunyikan emosinya yang terpendam.

Jujur, Aristha sangat bingung. Ia tidak tau harus seperti apa menghadapi situasi seperti ini. Apa dia harus senang atau sedih?

“Nanti gue certain.”

***

Pulang sekolah…

Risky hari ini menjemput Aristha, namun Aristha tak kunjung datang ke depan gerbang. Rizky memutuskan untuk menghampiri Aristha ke kelasnya.

Kakinya melangkah ke kelas Aristha dan ia menemukan Aristha tengah bersama Rizlie di bangku Aristha. Langkahnya terhenti. Ia bergerak mundur. Mengintip dan mendengarkan.

“Maafin gue.” Ucap Rilzie, tulus dan menggenggam jemari Aristha.

“Daritadi lo ngomong maaf. Tapi lo nggak ngejelasin apapun sama gue.” Omel Aristha dan melepaskan jemarinya dengan kasar.

“Gue tau gue salah…”

“Lo tau lo salah tapi lo nggak mau ngejelasin semuanya!” potong Aristha, galak.

“Tha, ada satu hal yang belum bisa gue jelasin sama lo.”

“Nggak usah minta maaf sampai lo bisa ngejelasin semuanya sama gue!” bentak Aristha dan berniat untuk pergi.

Tapi Rizlie menahan Aristha.

“Tha, gue janji gue akan jelasin semuanya. Tapi nggak sekarang.” Ucap Rilzie, berusaha meyakinkan Aristha.

“Ngapain lo dateng sekarang? Mendingan lo datengnya nanti-nanti aja, sampe lo bisa jelasin ke gue.”

Aristha pergi dari situ tanpa memperdulikan Rilzie.

Seketika Rizky tercengang. Ia bingung harus berbuat apa. Ia hanya diam sembari mengumpat.

Aristha keluar dari kelas dan tidak melihat Rizky.

***

Rilzie melangkah lemas melewati gerbang sekolah. palanya sangat pusing. Jantungnya terasa sakit sekali. Dengan lemah ia menaiki mobilnya yang di kendarai sopirnya.

“Den, kenapa? Kambuh lagi, Den?” tanya sopirnya, cemas.

Rilzie menggeleng, lemah.

“Nggak kok, Mang. Udah jalan aja.” Jawab Rilzie, bohong.

Dengan ragu, sopirnya yang bernama Mang Kujang itu menjalankan mobilnya.

Rilzie mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan pada Aristha.

Rizlie menekan tombol send. Dan pesan terkirim.

***

Aristha baru saja pulang, tiba-tiba ponselnya berbuyi tanda pesan masuk. Ia membukanya dan membacanya. Ternyata dari Rilzie.

Maaf, Tha. Maaf karena udh ngecewain lo. gw sama sekali gak berniat kayak gitu. Please percaya sm gw. Gw janji, gw akan jelasin semuanya. Tp gak sekarang. Gw blm siap.

Aristha terdiam. Ia tidak memperdulikan pesan itu.

Ia berbaring di ranjangnya tanpa membuka seragamnya terlebih dahulu.

Saat ini ia benar-benar bingung. Bingung harus seperti apa dan bagaimana. Satu sisi ia senang karena Rizlie sudah kembali. Tapi di sisi lain ia kecewa dan sedih karena Rilzie tidak menjelaskan apa-apa tentang kepergiannya. Padahal Aristha berharap ia bisa mendapatkan penjelasan yang membuat hatinya sedikit tenang. Tapi tidak sama sekali. Itu yang membuat Aristha marah pada Rilzie.

Andai Rilzie bilang semuanya, pasti ia tidak akan memperlakukan cowok itu seperti tadi.

“Lo ngecewain gue, Ril!” ucap Aristha, pelan.

Seketika pintu kamarnya terbuka. Ternyata Alvin yang datang.

“Eh, bang Alvin.” Ucap Aristha, sedikit terkejut.

Alvin masuk dan duduk di ranjang Aristha. Aristhapun ikut duduk di sebelah abangnya.

“Ada apa, bang?” tanya Aristha.

“Lho? Yang harusnya nanya, abang. Ada apa? Kok kamu lemes gitu?” Alvin balik bertanya.

Aristha terdiam kemudian berbicara dengan berat.

“Rilzie udah balik.” Jawab Aristha, singkat.

“Bagus dong?”

“Apanya yang bagus. Dia nggak ngejelasin apapun tentang kepergiannya, bang. Dia cuma bilang maaf. Udah. Apaan tuh?!” omel Aristha, kesal.

Alvin terdiam. Iapun heran.

“Waktu aku tanya kenapa dia nggak ngejelasin semuanya sama aku, dengan enaknya dia bilang ‘gue belum siap. Tapi gue janji gue akan ngejelasin semuanya. Tapi nggak sekarang.’ Omong kosong!” lanjut Aristha, semakin emosi.

“Nah, dia kan udah janji kalau dia akan jelasin semuanya sama kamu. Tapi nggak sekarang, memang. Kamu sabar, dong.”

Aristha cemberut. Entah kenapa ia menjadi sangat egois hari ini.

***

Waktu terkadang terasa sangat lama bagi mereka yang menunggu. Terasa cepat bagi mereka yang menikmati.

Rilzie memang tidak akan hidup lama lagi. Dan umurnyapun bukan beberapa bulan lagi, tapi ia bisa meninggal kapan saja. Tergantung dari kondisi tubuhnya.

Lalu kenapa Rilzie belum mau menjelaskan semuanya pada Aristha? Bukannya dengan ia datang kembali ke kehidupan Arsitha, berarti ia siap menjelaskan semuanya pada Aristha?

Cowok ini punya tujuan lain. Ia tidak mau terlalu cepat. ia tidak mau Aristha memaafkannya karena kasihan. Karena penyakitnya. Ia tidak mau seperti itu. memang terdengar bodoh, tapi itulah Rilzie. Bukan tipe cowok yang mau ambil jalan mudah.

Rilzie adalah anak tunggal. Ia tidak mempunya kakak ataupun adik. Itu yang membuat orang tuanya sangat sedih kalau melihat Rilzie terbaring lemah. Rilzie memang sudah menderita penyakit ini cukup lama. Dari sejak ia bayi. Jantungnya memang ada kelainan. Tapi entah apa yang membuat Rizlie bertahan.

Rilzie mempunyai 1 harapan besar saat ia bertemu dengan Aristha. Harapan untuk bisa sembuh dan harapan untuk bahagia bersama Aristha di akhir nanti. Tapi ia sadar kalau umurnya tidak akan panjang. Kesadarannya itu yang membuat ia menghilang untuk beberapa waktu dari kehidupan Aristha.

Dan sekarang ia mencoba berpikir jernih dan kembali lagi dalam kehidupan Aristha. Ia sadar kalau Aristha tidak akan semudah itu menerima kata maafnya sedangkan iapun belum bisa menjelaskan semuanya pada cewek itu.

Tapi ia bukan tipe cowok yang mudah menyerah. Ia yakin kok, Aristha akan memaafkannya walau bukan sekarang.

“Rilzie…” panggil Mamanya.

“Iya, Ma?”

Mamanya menghampirinya yang sedang terbaring di ranjangnya. Saat ini kondisi Rilzie semakin memburuk.

“Kamu jangan banyak pikiran dulu. Apa kita kembali ke rumah sakit saja?”

Rilzie menggeleng.

“Enggak, Ma. Rilzie nggak mau balik ke rumah sakit. Rilzie mau di rumah aja. Rilzie mau sekolah. Rilzie nggak mau ngabisin sisa waktu Rilzie di rumah sakit.”

Mamanya membelai rambut Rilzie.

“Terserah kamu aja.”

***

True love, adalah kisah cinta yang tidak akan pernah mati. Walaupun orang yang di cintainya telah tiada, namun cinta itu akan selalu ada di hati. Walau terkadang cinta sangat sulit untuk di ungkapkan dengan kata-kata, tapi cinta akan terlihat walau tidak di perlihatkan. Akan terdengar walau tidak di katakan. Itu adalah ke unikan cinta.

Namun, semua orang mempunyai cerita cintanya sendiri. Baik pengalaman sedih, kecewa maupun yang bahagia. Itu juga di alami oleh Sintya. Cewek ini memang tipe cewek yang mudah jatuh cinta, tapi ia memiliki hati yang tulus. Walau sering di permainkan cowok, ia tetap ingin jatuh cinta. Ia selalu positif thinking. Menurutnya, tidak semua cowok itu brengsek.

Sintya tengah duduk di sebuah restaurant di daerah kemang, Jakarta Selatan. Ia tampak sedang menunggu seseorang entah siapa. Ia tersenyum dan melambaikan tangan saat seorang cowok muda, berpakaian seperti anak kuliahan memasuki restaurant itu. Cowok tampan dan berkulit putih, menghampiri Sintya.

“Hei. Udah lama nunggunya?” tanya cowok itu dan duduk di bangku sebelah Sintya.

“Nggak kok. Ada apa? Tumben ngajakin ketemuan.”

Cowok itu terdiam. Seperti ada yang di sembunyikan cowok itu dari Sintya.

“Riyan, kenapa?” tanya Sintya yang heran melihat sikap cowok yang bernama Riyan itu hanya diam.

Riyan tersadar.

“Nggak kok. Sin, kayaknya kita udah nggak cocok lagi deh.” Jawab Riyan.

Sintya terkejut.

“Maksudnya?”

“Kita putus.”

“Kenapa?”

“Karena kita udah nggak cocok lagi.”

Sintya semakin bingung. Ia terdiam memandang cowok di hadapannya.

Sintya dan Riyan baru pacaran 1 bulan. Dan kisah cinta mereka harus kandas secepat ini? Sintya jelas menjadi sangat shock banget. Sintya sangat berharap hubungan mereka bisa langgeng dan baik-baik saja. Tapi kenyataan yang di hadapinya saat ini benar-benar membuatnya kecewa sekali.

“Hubungan kita cuma sampe di sini aja?” tanya Sintya, masih tidak percaya.

Riyan mengangguk mantap.

“Iya. Maaf ya, Sin.” Jawab Riyan.

Riyan sebenarnya masih mencintai Sintya. Tapi ia memang merasa sudah tidak cocok lagi dengan Sintya. Entah kenapa?

“Oke. Nggak apa-apa kok.” Ucap Sintya, tabah.

Sintya langsung pergi dari tempat itu tanpa memperdulikan Riyan.

***

Mungkin cinta memang butuh perjuangan dan ketabahan hati. Itu juga di lakukan oleh Sintya. Walaupun ia masih shock, tapi ia rela kok. Mungkin Riyan bukan jodohnya. Masih banyak cowok-cowok di luar sana yang mau menjadi pacarnya. Dan ia tidak pernah menutup hati pada cowok manapun. Kalau ia merasa nyaman dan cocok, mungkin cowok itu bisa menjadi pacarnya.

Sintya menceritakan semuanya pada Aristha di sekolah pada jam istirahat ke 2. dan reaksi Aristha adalah terkejut dan marah. Ia tidak suka sahabatnya di permainkan oleh cowok manapun.

“Sialan banget tuh cowok. Lo nggak marah-marah atau nampar muka dia?” tanya Aristha, emosi.

“Ya enggaklah, Aristha. Kasian.” Jawab Sintya, polos.

“Apa? Dia itu udah nyakitin lo. Masa masih kasian, sih?”

“Yaaah… mau gimana lagi doong? Gue nggak tega. Lagipula, sayang banget tangan gue ternoda gara-gara nampar muka dia. Bikin malu aja.”

“Kalo alasannya kayak gitu, gue setuju.”

Aristha tersenyum yang dibalas Sintya. Tiba-tiba sosok Rilzie datang.

“Rilzie, darimana aja?” tanya Sintya saat Rilzie menghampiri Aristha dan Sintya.

“Dari ruang kepsek. Kenapa?” Rilzie balik bertanya.

“Oh. Enggak apa-apa kok.” Jawab Sintya.

Rilzie duduk di bangkunya. Ia membaca satu buku untuk mencari kesibukan. Sedangkan Aristha hanya diam. Ia ingin sekali ngobrol dengan Rilzie. Tapi ia gengsi. Ia malu. Masa kemaren marah-marah, sekarang baikan. Kan nggak etis banget.

“Rilzie, muka lo kok pucet, sih? Lo sakit?” tanya Sintya, curiga.

“Masa, sih? Enggak kok. Gue nggak sakit.” Jawab Rilzie, bohong.

“Tapi bener. Muka lo pucet. Terus kayaknya lo kurusan deh.”

“Ah, perasaan lo aja kali.”

Sintya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia jadi bingung sendiri. Ada sedikit rasa curiga pada Rilzie. Ia merasa ada yang beda. Ia juga sering melihat Rilzie memegangi dada kirinya. Namun ia belum bisa membuktikan kecurigaannya.

***

Bab 6

Saat cinta harus memilih, akankah hati siap untuk memilih?

Sebenarnya persoalan yang di hadapi Aristha adalah persoalan yang mudah. Ia tinggal memaafkan Rilzie dan cepat atau lambat Rizlie akan menjelaskan semuanya. Selesai, kan? Dia bisa menjalani hari-hari dengan Rilzie lagi. Tapi kenapa itu tidak di lakukannya?

Hari ini adalah genap 2 minggu Rilzie kembali. Namun Aristha belum memaafkan cowok itu. Padahal hatinya sama sekali tidak membenci Rilzie. Bahkan dari dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia sangat ingin ngobrol bareng dan memaafkan kesalah Rilzie. Tapi pikiran dan amarahnya yang membuatnya bertahan tidak memaafkan Rilzie sampai cowok itu menjelaskan semuanya.

Sementara kondisi kesahatan Rilzie semakin memburuk. Dan Aristha tidak tau itu. Andai Aristha tau semua itu, dapat di pastikan ia akan menyesal karena tidak memaafkan Rilzie dari saat Rilzie kembali.

Namun apalah artinya penyesalan?

Dan Rizky. Dia adalah cowok yang sangat berbesar hati. Seringkali ia meminta agar Aristha memaafkan Rilzie dengan alasan cinta. Karena Aristha cinta Rilzie, maka Aristha harus bisa memaafkan kesalahan Rilzie. Namun tetap saja, Aristha tidak mendengarkan ucapan Rizky.

“Lo bilang lo cinta gue. Tapi kenapa lo maksa gue buat maafin Rilzie? Bukannya itu malah buat lo dalam posisi yang nggak aman?” tanya Aristha, kesal saat untuk yang kesekian kalinya Rizky memintanya untuk memaafkan Rilzie.

“Tha, buat apa gue memiliki lo kalau hati dan cinta lo cuma buat Rilzie seorang? Itu berarti gue hanya memiliki raga lo. sedangkan yang gue mau itu hati dan cinta lo, Tha.” Jawab Rizky, menjelaskan.

“Gue bisa kok coba buat cinta sama lo.”

“Gue mau lo bahagia bersama orang yang lo cinta, Tha. Kalo gue jadian sama lo, berarti gue egois. Gue nggak mau kayak gitu.”

“Terus mau lo apa? Lo mau gue maafin Rilzie semudah itu? Enggak, Ki. Nggak akan kecuali dia jelasin semuanya.” Aristha mulai emosi.

“Keras kepala banget sih! Gue nggak nyangka lo seegois ini.” Rizky kecewa dengan sikap Aristha.

“Lo nggak ngerti, Ki. Lo nggak ngerti perasaan gue saat dia ngilang dan di tambah lagi waktu kejadian radio itu. Sakit banget rasanya. Lo nggak tau itu, kan?” Aristha menangis, sedih.

Jujur ia belum bisa melupakan kejadian waktu Rilzie tidak menjawab pertanyaannya di radio. Sangat sakit. Itu yang di rasakan Aristha pada saat itu.

Sekarang dengan gampangnya Rilzie minta maaf dan Aristha harus memaafkannya? Nggak! Terlalu sakit hatinya.

Risky memeluk Aristha. Ia tau perasaan cewek ini. Tapi ia hanya ingin yang terbaik buat Aristha.

“Gue tau perasaan lo. Maafin gue kalo gue terlalu memaksa lo.” ucap Rizky.

“Ki, gue juga maunya maafin dia. Tapi sulit. Kejadian itu masih terngiang jelas di pikiran gue. Gue juga nggak mau kayak gini. Gue cinta dia. Tapi apa yang udah dia lakuin ke gue bener-bener udah buat gue sakit hati dan kecewa berat.”

Rizky membelai lembut rambut panjang Aristha. Ia memaklumi perasaan Aristha saat ini. Waktu. Itu yang di butuhkan Aristha saat-saat ini.

***

“Sin, kayaknya lo perlu cari pengganti Riyan deh.” Ucap Aristha saat istirahat di kantin sambil melahap baksonya.

“Hhm… iya, sih. Tapi siapa? Siapa yang mau jadi gebetan? Cowok-cowok di sini udah pada nggak tertarik lagi sama gue karena gue berubah. Nggak kayak dulu. Kurang ajar banget tuh mereka.”

Sintya dan Aristha berpikir-pikir siapa target mereka yang akan di jadikan pacar Sintya.

“Hhm… gimana kalo anak kuliahan?” tanya Aristha, memberi saran.

“Nggak! Kapok gue!” Sintya menolak.

Aristha cekikikan.

“Kalo abang lo, gue mau deh.” Ucap Sintya sambil senyum-senyum malu.

Seketika Aristha tersedak. Ia buru-buru meminum es jeruknya.

“Apa? Abang gue?” tanya Aristha, tidak percaya.

Sintya mengangguk dan tersenyum, malu.

“Iya. Habisnya, abang lo ganteng sih. Lagipula umurnya juga masih muda. Baru 20 tahun. Kan cuma selisi 2 tahun, Tha. Kita kan udah 18 tahun dan dia 20 tahun. Masih bisa, kan? He he he” jawab Sintya, blak-blakkan.

Aristha tercengang. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang di katakana Sintya barusan.

“Tapi, nih ya… abang gue itu, setau gue masih sayang sama mantannya yang udah mengkhianati dia. gue nggak bisa terlalu banyak bantuin lo.”

“Yaah, Aristhaaa… gue udah mentok nih. Bantuin doong. Sebisa lo aja, deh. Pleasee… lo kan adeknya, pasti dia mau dengerin omongan lo.” pinta Sintya.

Aristha mati kutu. Ia seakan menyesal karena telah menyuruh Sintya mencari cowok baru.

***

Aristha melangkahkan kakinya memasuki rumahnya yang terasa sepi. Ia membuka sepatunya dan menaruhnya di rak sepatu. Ia melangkah menuju dapur dan mendapati pembantunya tengah memasak.

“Bi, bang Alvin mana?” tanya Aristha dan duduk di bangku meja makan.

“Tadi sih katanya mau pergi keluar sebentar. Tapi bibi nggak tau non perginya kemana. Emang kenapa atuh, non?”

“Enggak. Tumben, bibi baru masak sekarang?” tanya Aristha sambil melahap udang tepung yang baru matang.

“Iya. Tadi bibi ke butik ibu. Nganterin baju.” Jawab bi Inah.

“Ooh. Au.. panas. Hu ha hu ha.” Aristha kepanasan karena memakan udang tepung yang baru matang itu.

“Ya iyalah, non. Wong baru masak. Pie toh.”

Aristha cekikikan.

“Aku kekamar dulu ya.” Pamit Aristha.

“Iya.”

Aristha berjalan kekamarnya. Saat ia hendak membuka pintu kamarnya, langkahnya terhenti. Ia mengamati pintu kamar abangnya. Ia mengurungkan niatnya untuk masuk kekamarnya. Ia melangkah mendekati kamar Alvin dan memasuki kamar itu. Kamar itu sedikit berantakan dan banyak pajangan foto seorang cewek dan foto abangnya dengan cewek yang sama. Cewek itu sangat cantik. Aristha seperti mengenal cewek itu.

Kak Reina? Pikir Aristha.

Sekarang ia sadar, kalau abangnya memang masih sangat mencintai kak Reina. Itu membuat Sintya berada dalam posisi yang sangat tidak aman. Walau abangnya itu telah dikhianati oleh kak Reina, tapi tetap saja, dari dalam lubuk hatinya yang paling dalam, abangnya masih sangat mencintai kak Reina.

Tanpa Aristha sadari, Alvin telah datang dan Alvin mendapati Aristha tengah mengamati kamarnya. Alvin menghampiri Aristha dan menepuk bahu adiknya itu, pelan.

“Kamu ngapain, Tha?” tanya Alvin, heran.

Aristha tersadar dari lamunannya. Ia berbalik badan dan melihat abangnya telah datang.

“Eh, bang Alvin udah pulang. Enggak kok. Aku iseng aja tadi.” Jawab Aristha.

“Duduk dulu aja di sini.” Ucap Alvin dan duduk di ranjangnya.

Aristha ikut duduk di sebelahnya.

“Bang, boleh aku tanya satu hal?” tanya Aristha mulai serius.

“Apa?”

“Abang masih sayang sama kak Reina, kan?”

Alvin terdiam, tidak menjawab.

“Baang… jawab dong.”

“Kalo boleh jujur, emang iya. Kenapa?”

Sekarang Aristha yang terdiam, tidak menjawab. Kembali ia mengingat pembicaraannya dengan Sintya tadi ketika istiraht di kantin.

Gimana kalau Sintya tau hal ini? Pikirnya.

Kasian Sintya. Katanya Sintya, ia sangat mencintai abangnya. Tapi Aristha tidak bisa berbuat apa-apa. Mana mungkin ia memaksa abangnya untuk mencintai sahabatnya sedangkan abangnya tidak mencintai Sintya. Di satu sisi Aristha kasian terhadap Sintya yang selalu saja di putusi oleh pacar-pacarnya. Ia tidak pernah mendapatkan cowok yang terbaik. Tapi di sisi lain, ia sangat mengerti keadaan abangnya. Tidak akan semudah itu abangnya mencintai Sintya yang baru beberapa bulan di kenalnya.

Dan Alvin, ia hanya menganggap Sintya itu sebagai teman Aristha. Nggak lebih.

“Tha, kok diem?” tanya Alvin yang mulai heran dengan perubahan sikap adiknya ini.

Aristha tersadar.

“Ah? Enggak kok. Nggak apa-apa.” Jawab Aristha, bohong.

“Terus, kenapa tadi kamu tanya itu sama abang?” tanya Alvin, lagi.

“Enggaaak… cuma iseng aja. He he he” jawab Aristha, bohong lagi.

Alvin hanya mengangguk-angguk.

“Abang dari mana tadi?” tanya Aristha.

“Oh. Tadi dari ketemu temen.” Jawab Alvin.

Aristha mengangguk.

“Aku kekamar dulu ya.” Pamit Aristha.

Alvin mengangguk.

***

Aristha melangkah pelan di koridor kelas lantai 2. Ia masih bingung bagaimana ia harus berbicara dengan Sintya. Tapi mau tidak mau, Sintya harus tau yang sebensarnya.

“Aristhaaaa….” Panggil seseorang dari arah belakang.

Aristha menoleh. Ternyata itu Sintya. Sintya berlari kearah Aristha dan berhenti saat berada di samping Aristha.

“Gimana, Tha? Soal abang lo itu.” tanya Sintya penuh harapan.

“Abang gue masih cinta sama mantannya. Kemaren gue tanya.” Jawab Aristha, lemah.

Sintya tampak kecewa.

“Yaah… jadi gue nggak ada harapan dong?” tanya Sintya, lagi.

Aristha mengangguk.

Sintya melemas.

“Padahal gue berharap banget bisa jadian sama abang lo.” ucap Sintya.

“Maaf ya, Sin. Gue nggak bisa bantu banyak. Ini semua tergantung abang gue.”

Mereka memasuki kelas dan duduk di bangku masing-masing.

Sintya melemas. Ia semakin tidak punya harapan. Entah kenapa ia sangat berharap sekali bisa jadian dengan Alvin. Pikirannyapun terus melayang pada cowok itu. ia tidak konsen belajar sampai waktu pulang sekolah. ia masih memikirkan cara bagaiman supaya ia bisa dekat dengan Alvin dan Alvin bisa cinta dengannya.

“Tha, gue mampir kerumah lo ya. Abang lo ada di rumah, kan?” tanya Sintya penuh harapan agar Alvin ada di rumah.

“Nggak tau deh. Tapi, biasanya sih, ada.” Jawab Aritha.

Sintya tersenyum senang.

***

Sintya tampak celingukan ketika sampai di rumah Aristha. Senyum langsung terukir di wajahnya saat ia melihat sosok Alvin sedang menonton tv di ruang tv.

“Bang Alviiin…” sapa Sintya, ramah.

Alvin bukan tipe cowok yang romantis atau seperti mantan-mantan Sintya. Ia terkesan galak dan cuek dengan cewek apalagi yang baru di kenalnya.

Alvin hanya melirik Sintya sebentar lalu kembali menonton.

Sintya tercengang. Tidak menyangka akan di cuekin. Pertama saat ia melihat Alvin, ia memang sudah menyukai cowok itu dan ia memang belom pernah kenalan ataupun ngobrol. Jadi wajar-wajar saja kalau Alvin masih bersikap dingin terhadap Sintya.

Aristha menarik tangan Sintya untuk naik keatas. Mereka memasuki kamar Aristha.

“Yaampun, Sintyaaaa…. Lo ngapain nyapa-nyapa abang gue kayak gitu?” tanya Aristha, gemas.

“Yaaa, gue kan cuma mau menyapa. Kok kakak lo dingin banget ya?”

“Ya iyalah. Lo itu nggak pernah kenalan sama abang gue. Abang gue mana kenal sama lo. dia itu orang cuek dan dingin sama cewek yang baru dia kenal. Apalagi sama cewek yang genit macam lo itu.” omel Aristha, sebal.

“Emang gue genit ya tadi?” tanya Sintya, polos.

“Iya!” jawab Aristha, tegas.

Sintya duduk di ranjang Aristha. Ia merenungi sikapnya yang bodoh tadi.

“Apalagi kalau abang gue sampe tau kalo dulu lo itu…” Aristha menggantungkan kalimatnya. Ia tidak enak untuk melanjutkan kalimatnya. Takut menyakiti perasaan Sintya.

“Tapi kan gue udah berubah, Tha. Lagipula gue kayak gitu kan cuma iseng.”

Sintya dan Aristha terdiam.

Tapi beberapa detik kemudian Sintya cekikikan.

“Tha, gue laperr…” rengeknya.

Aristha tertawa geli melihat wajah Sintya yang seperti anak kecil.

“Ayok kita makan…” ajak Aristha.

***

Sintya melahap makanannya dengan sangat rakus. Ia sangat lapar sekali. Karena ia belum makan daritadi pagi. Katanya sih mau diet. Badan udah kurus gitu masih mau diet? Tapi sekarang ia malah makan dengan sangat lahap. Sampai nambah pula.

Aristha cekikikan melihat sahabatnya makan selahap ini. Dan Alvin, ia amat sangat ilfil melihat cara makan Sintya yang sebenarnya di luar dari biasa. Bahkan Alvin jadi tidak napsu makan karena melihat Sintya makan. Kasian Sintya.

Alvin bangkit berdiri.

“Mau kemana, bang?” tanya Aristha.

“Kekamar. Nggak napsu makan abang jadinya.” Jawab Alvin, galak.

Tanpa menghabiskan makanannya, Alvin langsung kekamarnya.

Sintya terdiam sambil mengunyah makanan dalam mulutnya. Ia merasa tersindir.

“Gara-gara gue ya abang lo jadi nggak napsu makan?” tanya Sintya, sedih.

“Nggak kok. Dia lagi nggak napsu makan aja kali.” Jawab Aristha, menghibur.

Namun Sintya memang merasa kalau Alvin tidak napsu makan karena dia. Sintya jadi tidak napsu juga. Ia tidak enak hati pada Alvin dan Aristha.

Selesai makan, Sintya langsung pamit pulang. Ia merasa malu pada Alvin. Aristha hanya bisa menghibur dengan kata-kata “Abang gue nggak napsu makan bukan karena ngeliat cara makan lo kok.” Tapi itu tidak membuat Sintya tenang. Ia masi tetap keukeh, merasa kalau karena dialah Alvin tidak napsu makan.

Aristha tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia langsung menghampiri abangnya di kamar.

“Bang, kenapa sih abang harus ngomong kayak gitu, tadi?” tanya Aristha, sebal.

Alvin yang sedang tidur-tiduran, terduduk di ranjangnya. Aristha duduk di samping abangnya.

“Kamu liat nggak tadi? Dia itu makan kayak orang nggak makan 1 tahun. Jorok, lagi.” Jawab Alvin.

“Biasanya juga dia nggak kayak gitu, bang. Tadi aku juga nggak tau kenapa dia jadi kayak gitu makannya.”

“Ya terserahlah. Udahlah, Tha. Nggak usah bahas ini lagi.”

Aristha merasa kesal. Ia berjalan keluar dari kamar Alvin dan memasuki kamarnya.

***

Sabtu pagi di rumah Aristha terasa lebih ramai dari sabtu pagi biasanya. Itu karena Mamanya hari ini tidak bekerja di butik. Ia meluangkan waktu weekend bersama kedua anak tersayangnya. Dan itu membuat suasana sabtu pagi ini terasa lebih cerah dan indah. Walau tanpa kehadiran sosok kepala rumah tangga, mereka masih bisa bahagia berkumpul bersama. Dan mereka berniat untuk camping bersama Bi Inah, Sintya dan Rizky. Sebenarnya Sintya ingin mengajak Rilzie, tapi Aristha melarang. Ia tidak mau Rilzie ikut. Walau dari dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia sangat ingin Rilzie ikut.

“Udah siap semuanya?” tanya Mama Aristha.

“Udah dong.” Jawab Aristha.

“Udah, tante.” Jawab Sintya.

“Udah, bu” jawab Bi Inah.

Mereka semua memasuki mobil dan berangkat. Alvin yang mengendarai mobil dan Mamanya duduk di sebelahnya, Rizky dan Aristha duduk di tengah. Bi Inah dan Sintya duduk di belakang. Sintya takut mabok jadi lebih memilih di belakang bersama Bi Inah, biar ada yang ngurusin kalo mabok.

Mereka tertawa dan bersenang-senang selama di perjalanan. Mama Aristha tampak seperti anak ABG. Masih gaul. Begitupun Bi Inah, ia ikut bernyanyi walau tidak tau lagu apa yang dinyanyikannya itu.

Beberapa jam kemudian, mereka telah sampai di sebuah villa di daerah Bandung. Mereka akan menginap 1 malam di sini. Mereka turun dari mobil dan menurunkan barang-barang juga. Lalu mereka memasuki villa itu. villanya sangat besar dan ada kolam renang di belakangnya. Sintya memilih tidur bersama Bi Inah dan Aristha jelas protes.

“Ah, Sintya… tidurnya bareng gue aja…” pinta Aristha.

“Hhm… gimana ya… yaudah deh.” Ucap Sintya menuruti.

Aristha tersenyum senang.

Saat semuanya sedang sibuk membereskan barang-barang, Sintya malah asik duduk di bangku taman. Ia memandangi pemandangan yang sangat indah ini. Dan Alvin ternyata ikut duduk di sebelahnya. Sintya jelas terkejut melihat kehadiran Alvin.

“Eh, bang Alvin.” Ucap Sintya, ramah.

Alvin tidak menghiraukan Sintya. Ia memandang lurus ke depan. Pemandangannya memang sangat indah. Saking indahnya, Sintya jadi tidak di hiraukannya.

“Makan hati, lagi.” Ucap Sintya, pelan.

Namun Sintya tidak sadar kalau Alvin mendengarnya. Tapi Alvin tidak menghiraukan itu. Entah kenapa ia sangat cuek dan dingin pada Sintya. Padahal Sintya cewek yang menarik kok. Cantik. Putih. Tinggi. Apalagi yang kurang dari Sintya? Aneh memang.

Dan Sintya juga bingung harus ngomong apa? Ia takut di cuekin lagi.

Mereka duduk santai dalam diam. Sudah beberapa menit, ini terjadi, namun satu katapun tidak keluar dari mulut masing-masing.

Aristha lewat. Ia memperhatikan ke dua orang yang tengah terdiam memandang lurus kedepan tanpa ada perbincangan. Sintya yang menyadari kehadiran Aristha, menatap Aristha penuh tanya.

Sintya memutuskan untuk masuk kedalam dan saat bersampingan dengan Aristha, ia berbisik.

“Di kacangin lagi gue sama abang lo.”

Aristha tampak cekikikan. Ketika Sintya sudah masuk, Aristha duduk di samping abangnya.

“Kok tadi diem-dieman sih sama Sintya?” tanya Aristha.

Alvin menatap Aristha, bingung.

“Emang mau ngomong apaan?” Alvin malah balik bertanya.

“Apa aja gitu. Masa diem-dieman.”

“Males ah ngomong sama cewek bawel.”

“Bawel? Kata siapa Sintya bawel?” tanya Aristha, heran.

“Dia itu sok kenal banget sama, abang. Males banget jawab pertanyaan nggak penting.”

Daleeem! Batin Aristha.

Aristha menggeleng dan berdecak.

“Nggak ada salahnya, kan kasih kesempatan Sintya untuk kenal dan deket sama abang?”

Alvin terdiam tidak menjawab pertanyaan Aristha.

Aristha masih menunggu.

“Ya… okelah kalau sekedar mau kenal.” Jawab Alvin akhirnya.

Aristha tersenyum senang.

“Lebih dari kenal juga boleh, kan? Deket gitu? Atau mungkin jadi pacar.”

Alvin menatap Aristha, penuh curiga.

“Kamu mau comblangin abang sama dia?” tanya Alvin.

“Mungkin.” Jawab Aristha, lalu pergi masuk kedalam.

***

Malam hari di puncak adalah malam yang paling indah. Apalagi bila bersama orang tersayang. Itu yang kini di rasakan Aristha. Bahagia. Ia sangat merindukan suasana dan kebersamaan seperti ini. sangat indah walau tak seindah berama Rilzie.

Aristha tengah terdiam di bangku dan memandang ke atas langit. Ia menatap bintang-bintang di atas sana. Sintya menghampirinya.

“Hei. Melamun aja, Tha.” Tegur Sintya dan duduk di sampingnya.

“Enggak. Gue cuma lagi liat-liat bintang aja.” Ucap Aristha.

Sintya ikut menatap ke atas langit.

“Bintangnya banyak.” Ucap Sintya.

“Yaiyalah, Sintya. Emang setiap hari bintangnya banyak.”

Sintya cekikikan.

Rizky datang menghampiri Aristha dan Sintya.

“Hei. Pada lagi ngapain sih?” tanyanya.

“Lagi liat bintang.” Jawab Aristha.

Risky ikut menatap ke langit. Sintya bangkit berdiri dan pergi dari situ. Ia tidak mau mengganggu Arsitha dan Rizky. Risky duduk di samping Aristha. Ia menikmati suasana malam yang sangat indah indah ini bersama dengan orang yang di cintainya saat ini.

***

Sintya menghampiri Alvin yang sedang sibuk memanggang daging di halaman belakang. Dengan senyum yang sangat manis, Sintya menayapa Alvin.

“Hei, bang. Lagi ngapain?”

Alvin menatap Sintya, kesal.

“Lo nggak liat gue lagi ngapain?”

Sintya terdiam. Ia bingung harus bagaimana saat ini. Alvin kembali mengerjakan pekerjaannya tanpa memperdulikan Sintya.

“Bang, kok abang jutek banget sih sama aku. Emang aku salah apa?” tanya Sintya, lemah.

Alvin menghentikan pekerjaannya dan menatap Sintya semakin kesal.

“Pertanyaan yang lo tanya ke gue itu, pertanyaan bodoh! Lo slalu nanya hal-hal yang nggak penting!” jawab Alvin, emosi.

Sintya kembali terdiam. Kata-kata Alvin begitu menyakitkan di hatinya.

“Maaf ya. Tapi aku cuma mau deket dan kenal aja kok.”

Alvin terdiam juga. Suasana tiba-tiba terasa sangat sunyi. Beberapa detik kemudian Alvin kembali memanggang. Sintya hanya diam di belakang Alvin.

***

Terkadang cinta itu sangatlah rumit. Ada yang saling mencintai. Ada yang cintanya bertepuk sebelah tangan. Ada yang ragu-ragu. Aneh memang. Mencintai salah. Di cintaipun salah.

Aristha dan yang lainnya sedang sibuk merapikan pakaian untuk pulang. Setelah semuanya telah rapi mereka pergi meninggalkan villa itu. Ini adalah suasana yang sangat sepi untuk Sintya. Aristha, Alvin, Rizky, Bi Inah dan Mama Aristha mungkin bisa bernyanyi-nyanyi dan tertawa-tawa. Tapi tidak untuk Sintya. Ia merenung terdiam menatap keluar jendela mobil. Ia sedang sedih dan mengingat kejadian semalam, dimana kata-kata Alvin sangat menyakitkan hatinya. Alvin menyadari perubahan sikap Sintya. Namun memilih untuk tidak memperdulikan itu. Aristhapun menyadari ada sesuatu yang berbeda dari sikap Sintya. Namun ia tidak bertanya karena menurutnya Sintya butuh waktu untuk sendiri.

“Bisa berhenti sebentar nggak?” tanya Sintya, tiba-tiba.

Alvin memberhentika mobilnya di pinggiran.

“Mau ngapain, Sin?” tanya Aristha, bingung.

“Ke toilet.” Jawab Sintya.

Lalu Sintya turun dari mobil, menghampiri sebuah toilet umum. Cukup lama Sintya berada di toilet, akhirnya ia keluar juga. Lalu ia kembali masuk ke mobil.

“Lama banget, Sin.” ucap Aristha.

“Antriannya penuh.”

Perjalanan kembali di lanjutkan. Kira-kira sudah jam 15.00 mereka sampai di rumah Aristha. Mereka segera turun dan mengambil barang di bantu Bi Inah. Sintya duduk di sofa ruang tamu Aristha. Ia tampak melemas. Rizky yang baru saja mengangkat barang-barang, menghampiri Sintya dan memegangi lehernya.

“Lo sakit?” tanya Rizky kuatir.

Sintya melepaskan tangan Rizky dari lehernya lalu menggeleng, lemah.

“Enggak.” Jawab Sintya.

Risky berdiri di hadapan Sintya, lalu sedikit membungkukkan badannya untuk menatap Sintya lebih jelas.

“Apaan sih, Ki? Gue nggak sakit dan gue nggak kenapa-kenapa.” Omel Sintya, kesal.

“Bohong!”

“Gue nggak bohong!” protes Sintya.

Alvin lewat. Ia memperhatikan Rizky dan Sintya, lalu dengan cuek ia kembali berjalan. Sintya menatap kepergian Alvin dengan kesal. Risky yang sekarang mengetahui permasalahan yang di hadapi Sintya, langsung mengajukan pertanyaan.

“Karna Alvin lo kayak gini?”

Sintya menatap Rizky, heran.

“Bukan.” Jawab Sintya, bohong.

“Bohong mulu lo!” ucap Rizky, sebal karena Sintya tidak jujur.

***

Bab 7

Mungkin mulut bisa berbohong. Tapi hati tidak bisa. Cinta tidak harus selalu di ungkapkan. Tapi cinta harus selalu di buktikan. Terkadang sulit sekali bagi kita untuk mengerti dan memahami isi hati seseorang.

Alvin duduk di sebuah caffe. Pandangannya tertuju pada sudut pintu caffe tersebut. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang, entah siapa?! Saat tak berapa lama kemudian, seorang wanita cantik datang menghampirinya. Wajah Alvin tampak biasa saja. Tak ada ekspresi tersenyum. Cewek itu duduk di depan Alvin.

“Hai, Vin. Apa kabar?” tanya cewek itu, lembut.

“Masih peduli lo sama gue?” Alvin balik bertanya dengan sangat dingin dan sinis.

“Ya iyalah, Vin. Selama ini aku selalu peduli sama kamu.”

“Selama ini atau saat ini? waktu gue di penjara kemana aja lo? sekarang lo bilang kalau lo peduli sama gue? Omong kosong!” Alvin semakin sinis.

Cewek itu terdiam. Ia menyadari kesalahannya di masa lalu. Ia tau Alvin akan sulit memaafkan kesalahannya yang bisa di bilang FATAL itu.

“Vin, maaf soal yang dulu.” Mohon cewek itu dengan penuh harapan Alvin mau memaafkannya.

“Kenapa baru minta maaf dan menyesal sekarang?! Dari dulu kemana aja?!”

“Oke. Aku tau, aku salah. Tapi…”

“Kalau lo tau lo salah, kenapa masih di lakuin?” Alvin memotong kalimat cewek itu. “Reina, lo nggak tau kan seberapa sakitnya gue dulu? Seberapa kecewanya gue dulu sama lo? sekarang dengan mudahnya lo bilang maaf? Seandainya lo ada di posisi gue, apa semudah itu akan maafin kesalahan yang lo lakuin dulu itu?” omel Alvin, emosi.

Cewek yang bernama Reina itu terdiam membisu. Kini ia menyadari kalau Alvin memang tidak bisa memaafkan kesalahannya. Namun, entah kenapa, ada sedikit harapan kecil di hati Reina untuk bisa bersama dengan Alvin seperti dulu.

“Kalau udah nggak ada lagi yang mau lo omongin, gue pergi.” Ucap Alvin memecah kesunyian.

Reina tidak bisa berkata apa-apa lagi. Alvin bangkit berdiri dan berjalan keluar caffe. Meninggalkan Reina sendiri yang masih termenung sedih.

***

“Sin, pulang bareng gue mau nggak? Bareng Rizky. Katanya Rizky dia mau traktir kita makan siang bareng. Sama bang Alvin juga, lho.” Ajak Aristha saat sepulang sekolah sambil membereskan alat tulisnya.

“Nggak ah. Gue lagi nggak mau ketemu abang lo dulu.” Ucap Sintya, menolak permintaan Aristha.

“Yaaah… Sintya… ikut dong. Please… emangnya kenapa sih sama abang gue?”

“Abang lo waktu malam minggu itu bilang, kalau gue slalu nanya hal-hal yang nggak penting. Berarti bagi dia gue itu nggak penting dong?” cerita Sintya.

“Lho? Abang gue kan bilangnya pertanyaan lo yang nggak penting, bukan lo yang nggak penting.” Protes Aristha.

“ Tapi sama aja. Dia itu tetep jutek dan sinis sama gue. Udahlah. Gue nggak ada harapan lagi. Gue nggak mungkin menjadi orang yang di cintainya. Huft!” Sintya, melemas.

Aristha merasa prihatin juga dengan keadaan Sintya yang sedang berusaha untuk mendapatkan abangnya. Tapi Aristha tidak bisa banyak membantu. Ini soal perasaan.

Rilzie memperhatikan kedua cewek di hadapannya. Namun tidak ikut campur. Ia merasa seperti orang asing bagi Aristha dan Sintya.

“Yaudah deh, gue deluan ya, Sin. Risky udah nungguin. Bye…” pamit Aristha dan sedikit berlari meninggalkan kelas.

Kini di kelas hanya ada Sintya dan Rizie. Sintya meringkup di meja. Rilzie duduk di samping Sintya.

“Kenapa, Sin?” tanya Rilzie.

Sintya menatap Rilzie dan menggeleng.

“Enggak. Gue nggak kenapa-kenapa kok.” Jawab Sintya, bohong.

Rilzie tidak banyak bertanya lagi. Entah kenapa, Sintya jadi menangis. Rilzie heran melihat Sintya menangis. Iapun merangkul cewek disampingnya dengan lembut.

“Jangan sedih dong.” Ucap Rilzie.

Tapi Sintya malah semakin menangis. Sintya menceritakan semuanya pada Rilzie.

“Ril, gue suka sama abangnya Aristha yang baru keluar dari penjara itu. dia orangnya ganteeeng. Tapi dia jutek dan sinis banget sama gue. Setiap gue tanya pasti dia jawabnya jutek. Sampai waktu malam minggu kemaren gue tanya kenapa dia jutek dan sinis banget sama gue. Dia jawab kalau pertanyaan yang gue sering gue tanyain ke dia itu nggak penting. Berarti sama aja kan kalau bagi dia gue juga nggak penting?”

Rilzie paham permasalahan Sintya.

“Sin, coba deh tanya hal-hal yang berguna. Mungkin dia tipe cowok yang nggak suka basa-basi. Dia bilang pertanyaan lo nggak penting, bukan berarti bagi dia, lo nggak penting. Dia baru kenal sama lo kan?” tanya Rilzie. Sintya mengangguk. “Nah, mungkin dia butuh waktu untuk bisa deket sama lo. sabar aja. Cinta tumbuh karna biasa. Cinta tumbuh karna sering bertemu. Mungkin aja suatu saat nanti dia bisa cinta sama lo.” ucap Rilzie berusaha menghibur Sintya.

Sintya terdiam, merenungi kata-kata Rilzie. Apa yang di katakana Rilzie ada benarnya. Sintya tidak boleh memaksa Alvin untuk dekat dan mencintainya kalau merekapun belum kenal satu sama lain.

“Makasih ya, Ril. Gue udah sedikit legah. Ril, boleh gue tanya satu hal?” tanya Sintya, cukup serius.

“Apa?”

“Apa lo sakit?” tanya Sintya, penasaran.

Rilzie terdiam tak mampu berbicara.

“Please, Ril. Jawab gue.” Pinta Sintya.

“Enggak. Gue nggak sakit.” Jawab Rilzie, bohong.

Rilzie berjalan meninggalkan Sintya masih tidak puas dengan jawaban Rilzie.

***

Mulut bisa berbohong. Tapi tidak dengan hati.

Aristha, Rizky dan Alvin makan siang bersama. Cukup banyak percakapan diantara mereka. Sampai akhirnya Rizky bertanya satu hal pada Alvin.

“Vin, lo ada masalah apa sama Sintya?”

Alvin menatap Rizky, sedikit heran.

“Maksud lo?” Alvin malah balik bertanya.

“Kemaren Sintya sedih gitu. Kalau menurut gue itu karna lo.”

“Oh. Nggak tau gue.”

Risky hanya mengangguk. ia tidak mau terlalu mencampuri urusan percintaan orang lain.

“Kapan mau masuk kuliah lagi, Vin?” tanya Rizky.

“Hhm… gue coba daftar-daftar aja. Siapa tau ke terima.” Jawab Alvin.

God luck ya.”

“Thanks.”

Aristha terdiam. Ia memikirkan Sintya. Bagaimana Sintya sekarang? Pikirnya.

***

Mungkin, awal pengenalan cinta adalah BENCI dan akhir dari itu adalah CINTA. Nggak semua orang bisa mendapatkan cinta sejati. Walau terasa sangat sulit, itu tidak membuat seseorang berhenti merasakan cinta.

Saat cinta datang, terasa begitu indah. seakan cinta adalah yang paling sempurna. Seakan hidup ini begitu indah. Tapi, kalau cinta pergi, terasa begitu menyakitkan. Bagai dunia terasa gelap. Bagai hanya ada hujan tanpa ada pelangi ataupun matahari yang menyinari. Walau begitu, cinta akan selalu kita rasakan. Tak peduli terasa indah ataupun menyakitkan.

Cinta seperti angin. Berhembus pelan namun terasa sangat jelas. Cinta bagaikan api. Kalau kecil bisa jadi penyinar. Tapi kalau besar, bisa menyakiti dan menjadi musuh. Cinta juga bagaikan air. Terlihat tenang namun menghanyutkan.

Sebenarnya cinta itu indah, asal berasal dari hati yang tulus. Cinta nggak harus saling memiliki. Tapi cinta harus di resapi dan di mengerti. Kalau kita mencinta seseorang, kita nggak boleh maksa orang yang kita cintai untuk mencintai kita juga.

Itu yang saat ini sedang di alami Sintya. Mencintai cowok yang tidak mencintainya. Haruskah ia membiarkan cintanya terpendam dan pergi? Ataukah ia harus memaksa cintanya untuk memiliki raga bukan hati?

Persoalan rumit membuat kepala terasa penuh dengan pendapat-pendapat. So, sekali lagi, ini hidup! Hidup adalah pilihan. Kita harus milih jalan yang terbaik buat diri kita. Karna keputusan atau pilihan yang kita tentukan, harus kita pertanggungjawabkan. Dan kalau kita sudah mengambil suatu keputusan, pilihan ataupun sikap, kita harus siap menerima resikonya.

Jangan salahkan cinta kalau diakhir nanti, kita merasakan sakit bukan kebahahiaan. Jangan pernah menjadikan cinta sebagai alasan kita menjadi orang yang egois. Dan jangan menjadikan cinta sebagai alasan kenapa kita berubah. Toh semua pilihan ada di tangan kita bukan di cinta.

***

Alvin tengah duduk bersama seorang perempuan yang tak lain adalah Reina. Wajahnya tampak bosan. Tapi dalam hatinya, ada sedikit rasa senang karna bisa ngobrol lagi dengan cewek di hadapannya. Niatnya tadi Alvin hanya ingin mengambil folmuril di kampus yang ternyata adalah kampus Reina. Jadi mereka bertemun dan akhirnya duduk bareng di sebuah kantin di kampus ini. Suasana terasa sangat sunyi bagi mereka berdua. Padahal kantin sedang ramai saat ini. mereka tampak sama-sama diam. Tidak ada yang berniat untuk memulai percakapan. Begitupula Reina. Ia masih ragu untuk memulai percakapan.

Alvin mengaduk jusnya dengan sedotan. Matanya hanya tertuju pada minuman itu. tak sedikitpun ia menatap kearah Reina. Begitupula Reina. Ia hanya tertunduk entah memandangi apa?!

Suasana masih terasa sunyi sampai akhirnya Reina nekat untuk memulai percakapan.

“Kamu mau masuk fakultas apa, Vin?” tanya Reina.

“Belum tau.” Jawab Alvin, singkat.

Sintya hanya mengangguk dan ber “oh” saja. Ia kembali terdiam sambil memikirkan sesuatu yang bisa membuat suasana tidak terasa hening seperti ini.

“Kenapa nggak masuk fakultas jurusan komputer. Dari dulu kan kamu jago main komputer tuh. Nggak ada salahnya kan kalo coba masuk jurusan itu?” Reina mencoba untuk memberi saran.

“Mungkin.” Ucap Alvin, singkat lagi.

“Vin… kenapa sih kamu masih jutek gitu?” tanya Reina.

“Gue lagi nggak mau debat sama lo!” Alvin memperingati.

“Lho kok? Aku kan cuma tanya, Vin. Sama sekali nggak ada niat aku untuk debat atau cari masalah sama kamu. Apa pertanyaan aku salah?”

“Apa perlu gue ucapin setiap hari kalimat yang lo sendiri udah tau? Lo nggak inget kejadian dulu?”

Reina terdiam. Alvin semakin emosi.

“Gue ke sini mau ngambil folmulir doang. Dan elo malah buat gue jadi emosi. Mendingan lo nggak usah muncul lagi di hadapan gue. Karna itu hanya buat gue emosi dan marah aja.” Ucap Alvin begitu menyakiti perasaan Reina.

Alvin bangkit berdiri dan pergi dari situ. Alvin berjalan dan menaiki mobilnya. Ia mengendarai mobilnya meninggalkan tempat itu. Pikirannya jadi kacau. Iapun bingung dengan dirinya sendiri. Ia mengendarai mobilnya dengan sangat emosi. Tak sengaja pandangannya menatap soorang cewek memakai baju putih abu-abu. Ia seakan mengenal cewek tersebut.

Sintya? Tanyanya dalam hati.

Di hentikannya mobilnya tepat di hadapan cewek itu yang tengah berdiri di pinggiran jalan raya. Alvin membuka kaca mobilnya dan mendapati Sintya tengah terbingung melihat sosok cowok di dalam mobil yang berhenti di hadapannya.

“Sintya?” tanya Alvin, sedikit terkejut.

“Bang Alvi?” balas Sintya.

“Kok pulangnya nggak bareng Aristha?” tanya Alvin, lagi.

“Aristha pulang bareng Rizky.” Jawab Sintya, ragu-ragu.

“Masuk yuk. Abang anter pulang.”

Sintya tersipu. Ia tidak menyangka sosok Alvin dengan begitu perhatian dan baik mau mengantarinya pulang.

“Hei. Kok malah diem sih?”

Sintya tersadar dan segera memasuki mobil Alvin dan mereka pergi meninggalkan tempat itu.

***

Sebuah mobil berhenti di sebuah rumah. Sintya turun dari mobil Alvin.

“Makasih ya, bang” ucap Sintya.

“Iya. Sama-sama.”

Alvin menjalankan mobilnya diiringi lambaian tangan Sintya. Sintya memasuki rumahnya dan langsung menuju kamarnya. Ia sangat senang sekali. Ia sangat berharap kejadian tadi bisa terulang kembali. Ia sangat tidak menyangka Alvin mau mengantarnya pulang. padahal untuk sekedar menjawab pertanyaannya saja, Alvin jutek banget. Tapi tadi? Sama sekali Alvin tidak jutek dengan Sintya. Malah ia sangat berbaik hati. Mau menjawab semua pertanyaan Sintya. Seperti “Darimana, bang? “Ooh. Emang mau ambil fakultas jurusan apa?” “Kenapa jurusan itu, bang? Emang nggak ada yang lain?” atau sebagainya, yang sebelumnya Alvin menganggap itu tidak penting!

Dan Alvin. Iapun heran dan bingung kenapa ia bisa bersikap manis terhadap Sintya, tadi. Sambil mengendarai mobilnya, ia memikirkan kejadian yang baru di alaminya. Ia merasakan sesuatu yang berbeda. Suasana yang berbeda saat ia bersama Reina, tadi. Walaupun Alvin masih sangat mencintai Reina, entah kenapa tadi-saat Sintya masih duduk di sampingnya-ia merasakan sesuatu yang berbeda dari yang di rasakannya bersama Reina, baik dulu maupun sekarang. Perasaan nyaman, damai dan seakan hanya ada Alvin dan Sintya saja di dunia ini. itu yang di rasakan Alvin. Entah kenapa ia sangat merasa bersalah pada Sintya karna pernah membuat cewek itu terluka. Ada sedikit perasaan untuk membuat Sintya tersenyum dan bahagia di sampingnya. Memang perasaan yang aneh.

Apa ini cinta??

****

Perasaan orang bisa berbeda-beda setiap saatnya. Bisa saja hari ini cinta besok jadi benci. Bisa juga hari ini benci besok cinta. Tidak menentu. Tergantung dari situasi dan keadaan. Itu juga yang saat ini sedang di rasakan Alvin. Ia merasa sangat berbeda pada Sintya, hari ini. Apa mungkin karena tadi dia sedang emosi dan saat dia berada di samping Sintya, ia tidak merasakan emosi seperti yang di rasakannya bersama Reina? Atau mungkin Alvin memang suka dengan Sintya?

Banyak anggapan-anggapan yang mungkin saja terjadi. Karena Alvinpun tidak mengerti dengan perasaannya sendiri.

Alvin tengah terduduk di ranjangnya. Ia memegangi foto Reina yang sedang tersenyum sangat manis. Tampak Alvin sedang sedih. Ia masih bingung. Bingung harus seperti apa menghadapi masalahnya dengan Reina. Seandainya dulu Reina tidak menyakiti perasaannya, mungkin mereka bisa bahagia bersama saat ini. tapi apa yang sudah terjadi tidak bisa terulang lagi.

Seseorang memasuki kamar Alvin. Ternyata itu Mamanya. Mamanya menhampirinya dan duduk di sampingnya. Alvin hanya tersenyum dan menaruh foto Reina di meja kecil di sampingnya.

“Alvin… kamu kenapa?” tanya Mamanya.

Alvin menggeleng, pelan.

“Nggak kok, Ma. Alvin nggak kenapa-kenapa.” Jawab Alvin, bohong.

“Ya sudah kalau kamu belum mau cerita sama mama. Kita makan malam dulu yuk.”

Alvin menggeleng lagi.

“Alvin nggak laper. Mama sama Aristha aja yang makan. Kalau Alvin laper, nanti Alvin makan kok.”

“Ya sudah. Oh iya, gimana soal kuliah kamu? Udah ketemu kampus yang cocok?” tanya Mamanya.

“Udah. Tinggal Alvin isi folmulirnya dan Alvin bisa tes. Doain Alvin aja, Ma.” Jawab Alvin.

Mamanya mengangguk.

“Pasti. Ya sudah mama turun ya. Kalau kamu lapar langsung makan ya. Nanti kamu sakit, lagi.” Mamanya mengingatkan.

“Iya.”

Mamanya mengelus bahu anak bungsunya itu lalu berjalan keluar dan turun. Alvin hanya diam.

***

Bicara tentang cinta berarti berbicara tentang perasaan. Bicara tentang perasaan berarti bicara tentang pikiran dan logika. Namun perasaan dan pikiran bisa jauh berbeda. Karena pikiran penuh dengan ego dan emosi. Berbeda dengan perasaan.

Mungkin pikiran Aristha terlalu penuh dengan ego sehingga telinganya tidak bisa mendengar kata hatinya lagi. Apa selahnya memaafkan kesalahan orang lain? Toh kitapun bukan manusia yang tidak pernah berbuat salah kan? Semua orang pernah berbuat kesalahan. Nggak ada manusia yang sempurna. Semua orang pernah berbuat salah, sekecil apapun itu. pasti pernah. Lalu kenapa Aristha belum mau memaafkan kesalahan Rilzie?

Aristha tengah terduduk di kelasnya bersama Rilzie di sampingnya. Suasana kelas agak sedikit sepi. Mungkin ini adalah saat-saat yang meragukan sekali.

“Tha, untuk yang kesekian kalinya, gue minta maaf ya.” Ucap Rilzie memulai percakapan.

“Mau lo apa sekarang? Jujur ya, Ril. Gue juga nggak mau kayak gini. Gue mau masalah kita selesai. Tapi nggak tau kenapa, hati gue terlalu sakit untuk terima kata maaf lo. lo udah terlalu sakitin hati gue.” Omel Aristha, kesal.

“Tha, gue tau itu. tapi please. Terima kata maaf gue.”

Aristha terdiam. Ia bingung harus menjawab apa pada sosok cowok di sampingnya.

“Lo harus buktiin ke gue kalo lo bener-bener minta maaf sama gue.” Ucap Aristha seidkit ragu.

“Maksudnya?”

“Lo pikir sendiri!”

***

Bila memaafkan adalah hal yang memang seharusnya dilakukan untuk perwujudan cinta, mungkin Aristha bisa memaafkan.